-Natalia Serani-
PERSETERUAN antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan DPRD DKI soal RAPBD DKI 2015 Jakarta nampaknya segera berakhir. Kedua pihak kembali duduk satu meja membahas RAPBD DKI 2015 yang sudah dievaluasi Kemendagri.
Gubernur Ahok dan DPRD rupanya sepakat bahwa kepentingan rakyat Jakarta yang mesti didahulukan. Segala silang pendapat mesti disimpan dan kewarasan mesti diutamakan. KetuaDPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi yakin pada Jumat (20/3) pembahasan RAPBD 2015 selesai sesuai tenggat yang diberikan Kemendagri kemudian diterbitkan Perda APBD 2015, bukan Pergub (untuk menggunakan APBD 2014).
Di atas kertas Ahok memenangi pertempuran. Namun tak perlu tepuk tangan dan bersorak ria setelah hampir tiga bulan bagaikan dua petinju di atas ring, Ahok dan DPRD saling memberi jab-jab yang dianggap bisa meruntuhkan lawan. Dengan membahas RAPBD 2015 yang dievaluasi Kemendagri yang berasal dari Ahok berarti DPRD DKI menganggap RAPBD yang diserahkan Ahok ke Kemendagri adalah RAPBD yang sah, bukan lagi RAPBD ilegal, bukan lagi RAPBD siluman seperti yang selama berminggu-minggu menjadi sumber ketegangan lantaran Ahok dituding mengirim RAPBD 2015 bukan hasil pembahasan bersama Pemprov dan DPRD ke Kemendagri. Ahok menang 1-0.
Dalam pembahasan RAPBD DKI 2015 hari Kamis (19/3) pihak Pemprov DKI mengusulkan beberapa hal yang bisa ditafsirkan sebagai kompromi yang memberi isyarat Ahok melunak. Sikap melunak Ahok itu bisa dinilai sebagai ‘take and give’ setelah DPRD mau membahas RAPBD dari Kemendagri yang berasal dari Ahok dan semula dituding DPRD sebagai RAPBD siluman.
Salah satu usul Pemprov DKI itu adalah menaikkan tunjangan perumahan anggota DPRD DKI menjadi Rp38,3 miliar dari sebelumnya Rp19,3 miliar. Dua kali lipat atau 100%. Memang menurut Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Heru Budi Hartono, kenaikan itu sudah direncanakan karena tunjangan perumahan anggota dewan belum pernah naik selama 11 tahun terakhir sejak 2003.
Terlepas dari tunjangan perumahan itu disepakati atau tidak, sikap DPRD membahas RAPBD yang telah dievaluasi Kemendagri patutlah dipuji. DPRD meski banyak dikecam, telah berusaha mendengarkan suara rakyat Jakarta. Jika DPRD terus larut dengan dunianya dan asyik dengan Hak Angket untuk Ahok, maka DPRD DKI akan kian terpuruk.
Bayangkan, dalam satu pekan terakhir muncul dua hasil survei yang sama-sama menunjukkan bahwa masyarakat lebih percaya kepada Gubernur Ahok daripada DPRD DKI. Lembaga survei Populi Center pada Kamis (19/3) merilis hasil surveinya yang menyebutkan bahwa 42,6% publik percaya kepada Ahok mengenai ‘dana siluman’ sebesar Rp12,1 triliun dalam RAPBD 2015.
Perbandingannya, hanya 7,4% publik yang percaya terhadap DPRD. Itu berarti kepercayaan publik kepada Gubernur Ahok, 5,8 kali lebih besar daripada kepercayaan publik kepada DPRD.
‘’Ini menunjukkan masyarakat Jakarta jauh lebih mempercayai informasi dari Gubernur DKI terkait 'anggaran siluman' APBD DKI," kata Ketua Populi Center, Nico Harjanto yang menyebutkan bahwa survei Populi Center itu dilakukan di enam wilayah DKI termasuk Kepulauan Seribu dengan melibatkan 1000 responden sejak 11-15 Maret 2015.
Tak hanya soal kepercayaan. Survei itu juga menyebutkan bahwa 70% warga Jakarta puas terhadap kepemimpinan Ahok dan 60% masyarakat Jakarta puas dengan kinerja Ahok. Sebaliknya sebanyak 51,8% warga Jakarta menganggap DPRD tidak mewakili aspirasi mereka dan 45,7% masyarakat tidak puas dan sangat tidak puas dengan kinerja DPRD DKI.
"Para anggota DPRD DKI harus menyadari bahwa mereka kerja kolektif. Jika ada oknum yang berbuat tercela apalagi melakukan korupsi, masyarakat akan cenderung menghukum secara keseluruhan," kata Nico menyimpulkan hasil survei tersebut.
"Karena itu, etika dan kehormatan anggota harus dijaga dan ditegakkan dengan tegas supaya anggota yang masih bersih dan punya komitmen membangun Jakarta tidak terkena imbasnya," tambahnya.
Sepekan sebelumnya Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pun membuat survei serupa. Berbeda dengan Populi Center yang mengambil sample warga DKI Jakarta, survei yang dilakukan LSI ini digelar di 33 provinsi pada 3-4 Maret 2015.
Hasil survei nasional itu mencatat bahwa 60,77% publik lebih mempercayai komitmen Gubernur Ahok dalam menjalankan pemerintahan yang bersih, ketimbang DPRD yang hanya mencatat 22,65%.
Menurut peneliti LSI, Ade Mulyana, ada tiga alasan publik lebih mempercayai Ahok daripada DPRD DKI Jakarta dalam konflik APBD. Pertama, Ahok dianggap lebih jujur, punya integritas, dan berkomitmen memberantas korupsi dibandingkan dengan anggota DPRD DKI Jakarta. Sepak terjang Ahok yang dikenal galak, tegas, berani, dan lugas, dipercaya merupakan komitmen pribadinya mewujudkan pemerintahan yang bersih. "Publik juga menilai rekam jejak Ahok yang selalu berani memulai, dinilai benar," ujarnya.
Alasan kedua, rendahnya dukungan publik kepada anggota partai di Dewan karena mereka menilai anggota partai di parlemen hanya mementingkan kepentingan pribadi dan partainya. "Publik percaya permainan anggaran di APBD digunakan untuk mengumpulkan dana pribadi dan partai," ujar Ade Mulyana.
Ketiga, publik lebih percaya informasi yang disampaikan Ahok soal dana-dana siluman dibandingkan bantahan petinggi DPRD. Pernyataan Ahok soal dana siluman, ujar dia, terbukti benar, seiring terbongkarnya pembelian UPS dengan nilai miliaran rupiah.
"Sekitar 72,80 persen publik percaya bahwa dana siluman yang disampaikan Ahok benar," tambah Ade Mulyana.
Namun, publik juga berharap Ahok mampu memperbaiki komunikasi politiknya, agar terus mendapatkan dukungan partai dan menghindari konflik dengan berbagai pihak, tanpa perlu berkompromi soal korupsi. Sebanyak 54,25% warga berharap agar Ahok memperbaiki sikapnya, dan hanya 32,75% menyatakan Ahok tidak perlu memperbaiki komunikasi politiknya.
Hasil dua survei tersebut mengungkapkan persepsi publik terhadap Ahok dan DPRD DKI. Dari banyak segi DPRD DKI kalah kecuali soal komunikasi politik Ahok yang dinilai harus diperbaiki.
Dengan memperhatikan persepsi publik tersebut sudahlah tepat langkah DPRD ‘mengalah’ kemudian kembali membahas RAPBD 2015. Jika itu tidak dilakukan dan terus ngotot bertahan DPRD DKI akan semakin terpuruk.
Dalam perspektif hasil survei itu pula semestinya diletakkan urgensi Hak Angket terhadap Gubernur Ahok. Apakah masih perlu dilanjutkan? Apapun hasil dan rekomendasi Hak Angket itu akan menjadi pedang bermata ganda. Di satu sisi DPRD semakin tidak mendapat kepercayaan karena publik pada dasarnya sudah kurang mempercayai DPRD. Angket dinilai hanya untuk memuaskan syahwat politik anggota dewan yang tidak punya korelasi dengan kepentingan konstituen. Di sisi lain hasilAngket akan semakin melambungkan Ahok karena dianggap menzalimi sang gubernur.
Hasil survei adalah cermin yang bening untuk melihat respon atau persepsi publik atas kinerja. Jika DPRD DKI paham bahwa Angket itu akan menepuk muka sendiri, masih perlukah diteruskan? Bukankah sebaiknya Angket itu disimpan di laci paling dalam?.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H