Kalau tau mati itu akan semenyenangkan ini, seharusnya aku sudah melakukannya dari dulu. Karena, hidup ini sesungguhnya hanyalah bunga tidur, dan mati adalah hidup yang sesungguhnya.
"Zo..."
"Zo.."
"ZOOO..."
Teriak wanita itu. Berisik.
Apa dia tidak ingat, gara-gara dia, aku harus menjalani bunga tidur ini terus-terusan. Aku tidak menginginkan hal ini terus terjadi. Wanita itu, selalu saja meneriaki hal yang sama tiap harinya. Sampai-sampai, ingin ku gorok saja lehernya, biar tidak ada suara yang terdengar dari dirinya lagi.
"Iya, ini sudah sadar" Jawabku.
"Itu telfon mu bergetar terus-terusan, buat pusing saja sih!" kata wanita itu.
Betul, sangat memusingkan melihat pesan dari aplikasi chat setiap pagi. Isinya hanya 'bisa bantu ini ga?' 'bisa bantu itu ga' 'tugas sudah dikerjakan ga?' 'butuh banget nih' atau yang lebih parah, kita bisa ditelfon akibat tidak membalas pesan tersebut. Dasar kehidupan urban. Gara-gara teknologi, aku tidak bisa tenang. Rasanya ingin ku potong saja jari-jari orang yang selalu memberiku pesan tiap pagi, agar mereka tidak bisa mengirimkan ku pesan lagi.
Lagi-lagi, pikiran ku hanya ingin membuat orang menderita. Tapi, bukankah kehidupan itu sendiri sudah penderitaan? Eh... kalau mereka berpikiran seperti itu sih... Kalau tidak, yaa berarti sah-sah saja dong, untuk membuat orang menderita. Merasakan penderitaan itu penting.
Tetapi, melihat mereka selalu menyembah di kala sulit, di kala menderita. Mereka selalu mengadu kepada "Yang Di Sana" membuat aku selalu tertawa terbahak-bahak. Emangnya "Yang Di Sana" mau mendengarkan keluhan orang yang tidak berguna seperti kalian? Keluhan ku saja tidak pernah didengarNya, apalagi kalian.
Hidup kok bergantung sama "Yang Di Sana". Tapi, emang sih, kalau orang lemah kaya kalian, butuh yang namanya sandaran seperti Dia. Dasar orang aneh, kok bisa-bisanya mau menggantungkan kebahagiaan dan menggantungkan kehidupan kepadaNya. Sudah gila.
Terlalu sesak berada di perkotaan. aku butuh angin segar. Sejak saat itu juga, aku memilih untuk meninggalkan rumah, aku ingin menempati tempat yang jauh dari perkotaan, di suatu desa yang indah. Dari situlah, aku menyadari, mati sangat menyenangkan.
'Ahhh.. enak sekali udara disini' gumam ku.
'Sudah lama aku tidak merasakan udara sebersih ini, tidak seperti di perkotaan. Bikin sesak.'
"Sudah selesai." Kata ku, ketika aku selesai merapihkan tempat tidur ku.
'Sudah saatnya aku hidup, hidup dalam mimpi yang sebenarnya.' gumam ku lagi.
Saat itu juga, wanita yang setiap pagi meneriaki ku, menangis bersama dengan kekasihnya. Apa rasanya melihat orang yang lebih muda dari mereka sudah menuju kehidupan sebenarnya. Kehidupan yang tidak ada lagi sesak akibat teriakan dan pesan di aplikasi chat yang terus menerus menghantuinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H