Cepat-cepat aku keluar dari toilet, muak dengan bentuk fisikku. Aku benci sekali, kecantikan seseorang hanya dipandang dari segi fisik. Semua itu yang dilakukan teman-temanku. Mereka tidak menyukaiku karena aku tidak menarik. Kuseret kakiku menuju kelasku. Membuka pintunya, dan...
“Jbreeet..!”
Kepalaku sakit, rasanya pening. Lampu-lampu tampak berputar, sekelilingku penuh, ramai, tawa dimana-mana..
***
Dingin. Aku tidak bisa merasakan kakiku. Mataku berat sekali untuk dibuka, kepalaku terasa melayang. Kesadaranku mulai pulih, samar-samar aku bisa mendengar ada orang yang bicara, berbisik berlahan. Semuanya begitu terdengar rapuh di telingaku, berjalan lambat. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang berjalan sementara aku mengumpulkan kekuatan untuk sadar.
Semuanya putih, ada tirai-tirai panjang berwarna hijau di sekelilingku. Kesan pertama saat aku membuka mata adalah-mungkin sedikit berlebihan- aku sudah mati. Semakin lama aku memperhatikan sekeliling, aku sadar. Ini ruang UKS. Gejolak senang dan sedih meluap bersamaan memukul kepalaku. Rasanya semakin sakit.
Aku masih bingung, kenapa aku di sini? Senang rasanya, ternyata aku belum mati. Rasa sedih juga menggelayuti betapa realita ini masih nyata, aku masih di sini. Pelan-pelan, aku turun dari ranjang putih. Mengenakan sepatu taliku yang kebesaran. Aku masih penasaran kenapa dan bagaimana aku bisa di sini.
“Kamu sudah bangun, Nak.” Senyum penjaga UKS merekah ketika melihatku keluar dari bilik tempatku tidur. Aku tidak ingat namanya, ia berkacamata dengan kulit cokelat yang manis. “Saya kenapa ya Bu?” saat mengatakannya kepalaku ngilu, tanpa sengaja aku melihat ke kiri. Cermin besar itu memantulkan bayanganku. Kepalaku dibalut perban putih lebar dan tebal. Rasanya kepalaku dihantam, aku merabanya dan merasakan balutan perbannya.
“Tadi ada kecelakaan, Sayang. Saya tidak tahu tepatnya kejadian tadi, temanmu yang mengantarkan kamu.” Dia tersenyum dan mengambilkan aku minum. Segelas air putih kandas di tenggorokanku yang kering. “Mau kembali ke kelas?” ibu itu menawarkan. Aku hanya mengangguk kecil.
Kelasku ada di lantai empat, ruang UKS ada di lantai satu. Siapa yang dengan rela mengantarkan aku turun tiga lantai? Mungkin Angela? Dia satu-satunya orang yang masih baik padaku setelah aku tidak sedikit demi sedikit menjauhinya. Mungkin juga, Angela cantik, tinggi, dia juga kuat. Mungkin dia menyeretku sampai ke ruang UKS tanpa susah payah... mungkin, bisa jadi..
Aku menaiki tangga satu-satu. Pelan dan lama. Aku tidak ingin kembali ke kelas. Apa yang mereka lakukan sebenarnya? Apa sekarang mereka menungguku? Aku mencoba mengalihkan pikiran, aku menghitung jumlah anak tangganya. Totalnya ada 70. Tangga yang setiap hari selalu kulewati untuk menjemput kesedihanku. Sampailah aku di lantai empat. Aku mengatur napas dan mimik wajah yang ceria, hal itu malah membuat lukaku nyeri.