Mohon tunggu...
natalia mandiriani
natalia mandiriani Mohon Tunggu... mahasiswa -

Just me. I love Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Proses

26 November 2015   11:44 Diperbarui: 26 November 2015   11:44 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Permohonan

 

“Aarrgghhhh....” aku melihatnya! Dia jatuh dari lantai empat. Astaga, tubuhnya hancur tak berbentuk! Merasa mual, akupun segera pergi. Cepat-cepat aku duduk dan meletakkan kepala diantara lututku, rasanya lebih baik. Apa yang kulakukan? Aku marah, marah atas segalanya dalam hidupku. Aku mencoba membunuhnya- diriku sendiri- tapi aku tak punya keberanian untuk itu. Aku baru membayangkan jika aku mati meloncat dari gedung lantai empat sekolahku dan gagal. Terlalu buruk, aku ingin mati baik-baik. Kenapa aku ingin mati? Karena aku benci nmereka!

            “Hei, kampungan!” charles selalu saja membuat onar. Ia adalah otak dari semua kasus bullying di sekolah ini. Khususnya untuk kelas ini- kelasku yang rusak- akulah korbannya. Aku berusaha menahan amarahku, menahan air mata yang selalu ingin menetes setiap kali ia dan teman-temannya mengejekku.

            Aku berusaha acuh-tak acuh. Berusaha terlihat cool. Tapi tetap saja, aku merasa lembek, rapuh dan tidak cool sama sekali. Ha ha ha, ketika aku berusaha menjadi sok kuat, aku menertawai diriku sendiri. Secara keseluruhan, aku tidak punya teman. Beberapa kali ada yang mencoba menjalin pertemanan denganku, hasilnya nol besar. Bukan tidak berhasil, aku yang memisahkan diri dari mereka. Aku tidak ingin berbagi, kesedihanku hanya ingin kupandangi dengan diriku sendiri.

            “Kamu gak punya mulut ya? Udah bisu?” kali ini geng clara yang mendatangi mejaku. Aku menghela napas panjang dan hanya memandanginya. Dia menatap galak kepadaku. Clara sebenarnya tidak cantik, dia hanya modis. Tapi dia populer, anak pejabat, kaya dan galak. Dia sombong dan suka menyuruh-nyuruh. Beberapa kali aku melihat golongan tidak populer diperbudak oleh Clara untuk membawakan makanan yang ia pesan di kantin bersama golongan populer-nya.

            Mungkin karena aku tidak pernah mau diajak kerja sama dengan dia- diperbudak- Clara sangat tidak menyukaiku. Kisahku sangat tragis. Seperti yang ada di sinetron-sinetron, saat anak lemah tertindas yang tidak disukai teman-temannya. Ia menangis di bawah guyuran hujan deras, petir menyambar-nyamabar. Ia berjalan di tengah jalan raya yang sepi. Tiba-tiba sebuah mobil lewat dan menabraknya. Pengemudinya ternyata adalah cowok ganteng populer yang sedang mencari soulmate bukan karena keadaan fisik yang sempurna, ia lebih mementingkan kecantikan hati.

            Cowok ganteng itu lalu membawanya ke rumah sakit dan menelepon keluarga si cewek. Saat si cewek sembuh, si ganteng pun lebih memperhatikannya. Mereka sering berangkat bersama, dan pada akhirnya si ganteng benar-benar jatuh cinta pada cewek nggak populer ini. Tamat.

            Coba saja kalau hidup bisa sesimpel itu. Bagi orang-orang dengan keadaan fisik tidak bagus, urusan jodoh itu rumit. Termasuk aku, yang secara keseluruhan sangaaat... tidak terlalu bagus. Aku overweight 15 kg, mengerikan. Pendek, 155cm dan tidak berkulit mulus seperti teman-temanku. Sangat payah!

            “Gendut, ambilin Ipad ku dong!” teriak dari belakang. Ya ampun, aku ngga habis pikir, “Ambil aja sendiri!” lalu aku buru-buru ke toilet. Sekilas tadi saat berbalik aku melihat kilatan jahat di matanya. Aku bergidik ngeri. Dia seperti iblis wanita, tinggal menunggu dua tanduk keluar di atas kepalanya dan ekor dengan bentuk segitiga serta sebuah tongkat garpu.

            Toilet di sekolahku terdiri dari tiga bilik kecil dan dua buah wastafel, serta sebuah cermin besar 50cm x 30cm. Setibanya aku di toilet-kosong karena saat itu masih jam pembelajaran- aku memandangi diriku di cermin. Astaga, betapa lusuhnya aku! Kulit wajahku kusam, rambutku berantaakan dan susah diatur. Seragamku kebesaran di beberapa sisi namun ketat di sisi yang lain. Kesimpulannya : aku tidak menarik.

            Cepat-cepat aku keluar dari toilet, muak dengan bentuk fisikku. Aku benci sekali, kecantikan seseorang hanya dipandang dari segi fisik. Semua itu yang dilakukan teman-temanku. Mereka tidak menyukaiku karena aku tidak menarik. Kuseret kakiku menuju kelasku. Membuka pintunya, dan...

            “Jbreeet..!”

            Kepalaku sakit, rasanya pening. Lampu-lampu tampak berputar, sekelilingku penuh, ramai, tawa dimana-mana..

***

Dingin. Aku tidak bisa merasakan kakiku. Mataku berat sekali untuk dibuka, kepalaku terasa melayang. Kesadaranku mulai pulih, samar-samar aku bisa mendengar ada orang yang bicara, berbisik berlahan. Semuanya begitu terdengar rapuh di telingaku, berjalan lambat. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang berjalan sementara aku mengumpulkan kekuatan untuk sadar.

Semuanya putih, ada tirai-tirai panjang berwarna hijau di sekelilingku. Kesan pertama saat aku membuka mata adalah-mungkin sedikit berlebihan- aku sudah mati. Semakin lama aku memperhatikan sekeliling, aku sadar. Ini ruang UKS. Gejolak senang dan sedih meluap bersamaan memukul kepalaku. Rasanya semakin sakit.

Aku masih bingung, kenapa aku di sini? Senang rasanya, ternyata aku belum mati. Rasa sedih juga menggelayuti betapa realita ini masih nyata, aku masih di sini. Pelan-pelan, aku turun dari ranjang putih. Mengenakan sepatu taliku yang kebesaran. Aku masih penasaran kenapa dan bagaimana aku bisa di sini.

“Kamu sudah bangun, Nak.” Senyum penjaga UKS merekah ketika melihatku keluar dari bilik tempatku tidur. Aku tidak ingat namanya, ia berkacamata dengan kulit cokelat yang manis. “Saya kenapa ya Bu?” saat mengatakannya kepalaku ngilu, tanpa sengaja aku melihat ke kiri. Cermin besar itu memantulkan bayanganku. Kepalaku dibalut perban putih lebar dan tebal. Rasanya kepalaku dihantam, aku merabanya dan merasakan balutan perbannya.

“Tadi ada kecelakaan, Sayang. Saya tidak tahu tepatnya kejadian tadi, temanmu yang mengantarkan kamu.” Dia tersenyum dan mengambilkan aku minum. Segelas air putih kandas di tenggorokanku yang kering. “Mau kembali ke kelas?” ibu itu menawarkan. Aku hanya mengangguk kecil.

Kelasku ada di lantai empat, ruang UKS ada di lantai satu. Siapa yang dengan rela mengantarkan aku turun tiga lantai? Mungkin Angela? Dia satu-satunya orang yang masih baik padaku setelah aku tidak sedikit demi sedikit menjauhinya. Mungkin juga, Angela cantik, tinggi, dia juga kuat. Mungkin dia menyeretku sampai ke ruang UKS tanpa susah payah... mungkin, bisa jadi..

Aku menaiki tangga satu-satu. Pelan dan lama. Aku tidak ingin kembali ke kelas. Apa yang mereka lakukan sebenarnya? Apa sekarang mereka menungguku? Aku mencoba mengalihkan pikiran, aku menghitung jumlah anak tangganya. Totalnya ada 70. Tangga yang setiap hari selalu kulewati untuk menjemput kesedihanku. Sampailah aku di lantai empat. Aku mengatur napas dan mimik wajah yang ceria, hal itu malah membuat lukaku nyeri.

Aku membuka pintu kelasku. Suasana sangat hening, aku terbengong-bengong sebentar sampai akhirnya menyadari kelasku kosong. Mata pelajaran terakhir adalah olah raga. Biasanya kami akan langsung membawa barang-barang kami ke lapangan dan bisa langsung pulang. Aku lega, bisa sendirian. Tasku juga sendirian, tampak samar karena semua lampu sudah dimatikan.

Aku duduk di bangkuku. Mengamati seisi kelas. Aku berharap akan muncul sesuatu yang mengagetkanku, hantu misalnya? Hahaha.. aku menertawai diriku sendiri. Tapi seakan keheningan menyesatkanku, aku dicekam perasaan takut dan marah. Aku memandang marah ke bangku Clara. Murka atas segala yang ia pernah lakukan pada kami- golongan tidak populer- dan marah pada orang-orang yang tidak mau membantu kami.

Amarahku tercekik, perasaan takut dan gelisah mulai muncul. Aku ingin pergi dari sini, secepatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun