Hai Sobat Kompasiana!
Kalian tahu tidak apa itu Nyadran? Apa kalian baru dengar dengan istilah nyadran?
Nyadran ialah tradisi masyarakat yang masih mengakar kuat dalam budaya Jawa. Budaya yang telah dilestarikan selama ratusan tahun ini dilakukan dengan cara membersihkan makam para orang tua atau leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, serta berdoa bersama di sekitar makam.Â
Dalam istilah Islam Jawa kejawen, Nyadran dapat diartikan sebagai kegiatan ziarah kubur atau pergi mengunjungi makam leluhur untuk berdoa sambil membawa kemenyan, bunga, dan air.Â
Nyadran merupakan tradisi yang terbentuk dari akulturasi antara budaya Jawa dengan budaya Islam. Tradisi ini sering dilakukan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.Â
Nyadran selalu dilaksanakan setiap tahunnya untuk melestarikan sebuah tradisi. Nyadran memiliki prosesi dan waktu yang berbeda pada setiap daerahnya.
Nyadran berasal dari kata "nyadaro". Yang artinya bahwa kita sebagai manusia agar sadar akan sebuah kematian. Dengan waktu yang kita tidak pernah tau dan entah kapan pastinya kita bakal mengalami. Tujuan nyadran ialah sebagai bentuk tanda bakti manusia kepada orang tua/arwah yang telah tiada. Nyadran biasanya diilaksanakan di lingkungan makam dan dihadiri orang-orang/jamaah. Terutama yang nenek moyangnya dimakamkan di makam tersebut. Dengan membawa nasi box sesuai ketentuan dan rangkaian acara yang protokoler disertai pengajian. Adakalanya juga disertai dengan hiburan hadroh. Namun, acara intinya ialah pembacaan doa-doa kalimat thayyibah/tahlilan untuk mendoakan arwah yang telah tiada.
Mengutip situs Dinas Kebudayaan Kota Jogja, Nyadran merupakan tradisi berdoa untuk arwah leluhur. Nyadran atau Sadranan ini ialah tradisi Jawa yang dilakukan pada bulan Sya'ban atau Ruwah untuk mengungkapkan rasa syukur yang umumnya dilakukan dengan mengunjungi makam leluhur di suatu desa. Tujuan Nyadran sendiri yaitu untuk mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia dan mengingatkan manusia bahwa pada akhirnya akan meninggal. Nyadran juga digunakan sebagai sarana pelestarian budaya gotong royong serta upaya menjaga kerukunan masyarakat melalui kegiatan makan bersama.
Tradisi Nyadran ini sudah dilakukan sejak masa Hindu-Buddha sebelum Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Pada tahun 1284, ada tradisi serupa dengan Nyadran yang disebut Shraddha. Istilah shraddha ini memiliki arti iman/keyakinan. Saat masa itu, Shraddha merupakan upacara penghormatan terhadap arwah orang-orang meninggal yang dianggap suci. Inti dari ritual upacara Shraddha adalah menunjukkan rasa hormat kepada leluhur (nenek moyang) dan mensyukuri atas kelimpahan air dan alam. Pelaksanaan upacara Shraddha dilakukan setiap tahun, waktunya menyesuaikan dengan tanggal kematian seseorang yang dihormati. Namun, jika pihak keluarga tidak mengetahui tanggal kematian seseorang yang akan didoakan dalam shraddha, maka ritual dilakukan pada hari yang luar biasa. Penentuan hari luar biasa tersebut didasari oleh perhitungan tertentu.
Meski sama dalam memberi penghormatan kepada arwah almarhum, Shraddha hanya dilakukan untuk memperingati kematian raja saja. Seiring berjalannya waktu, agama Islam mulai masuk dan disebarkan di Jawa. Kontak budaya antara Islam, Hindu, dan Jawa pun terjadi. Lambat laun, istilah Shraddha berubah menjadi sadranan atau nyadran yang tradisinya telah mendapatkan pengaruh nilai-nilai ajaran agama Islam. Tradisi Shraddha kemudian diilakukan oleh semua kalangan dan banyak mendapat pengaruh dari ajaran Islam. Lagu-lagu yang biasanya dinyanyikan dalam Shraddha juga diganti dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an, zikir, tahlil dan doa-doa.
Nyadran menjadi bagian penting bagi masyarakat Jawa. Sebab, para pewaris tradisi ini menjadikan Nyadran sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Nyadran biasanya berlangsung satu bulan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan yaitu pada tanggal 15, 20, dan 23 bulan Sya'ban atau Ruwah. Biasanya juga dilaksanakan setiap hari ke-10 pada bulan Rajab atau ketika mendekati bulan Sya'ban. Meski dilakukan pada waktu yang berbeda di setiap daerahnya, Nyadran biasa dilaksanakan pada bulan Ruwah karena untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Setiap daerah di Jawa memiliki ciri khas tersendiri dalam tradisi ini. Masyarakat di beberapa daerah membersihkan makam sambil membawa bungkusan yang berisi makanan dari hasil bumi yang dikenal dengan sadranan. Secara tradisional, sadranan akan ditinggalkan di tanah pemakaman. Tidak jarang masyarakat juga ikut membiayai pengelolaan makam. Namun tidak semua masyarakat di daerah Jawa selalu membawa sadranan. Salah satu yang khas dan pasti ada di setiap Nyadran, adalah acara makan bersama atau kenduri. Prosesi ini menjadi salah satu yang ditunggu oleh warga. Setiap keluarga membawa masakan hasil bumi.
Masyarakat yang melakukan tradisi Nyadran percaya, membersihkan makam adalah simbol dari pembersihan diri menjelang Bulan Suci. Bukan hanya hubungan manusia dengan Sang Pencipta, Nyadran dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur. Kerukunan serta hangatnya persaudaraan sangat terasa setiap kali tradisi Nyadran berlangsung.
Nyadran yang telah dijaga selama ratusan tahun, mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu. Seperti pepatah Jawa kuno yang mengatakan "Mikul dhuwur mendem jero" yang kurang lebih memiliki makna “ajaran-ajaran yang baik kita junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H