Mohon tunggu...
Nasywanandira K
Nasywanandira K Mohon Tunggu... Mahasiswa - 22107030097 ILMU KOMUNIKASI - UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Fesyen - Kuliner - Wisata - Dll

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Nyadran Sambut Bulan Ramadhan

19 Maret 2023   11:53 Diperbarui: 19 Maret 2023   11:57 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: doc.pribadi

Nyadran menjadi bagian penting bagi masyarakat Jawa. Sebab, para pewaris tradisi ini menjadikan Nyadran sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta. Nyadran biasanya berlangsung satu bulan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan yaitu pada tanggal 15, 20, dan 23 bulan Sya'ban atau Ruwah. Biasanya juga dilaksanakan setiap hari ke-10 pada bulan Rajab atau ketika mendekati bulan Sya'ban. Meski dilakukan pada waktu yang berbeda di setiap daerahnya, Nyadran biasa dilaksanakan pada bulan Ruwah karena untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Setiap daerah di Jawa memiliki ciri khas tersendiri dalam tradisi ini. Masyarakat di beberapa daerah membersihkan makam sambil membawa bungkusan yang berisi makanan dari hasil bumi yang dikenal dengan sadranan. Secara tradisional, sadranan akan ditinggalkan di tanah pemakaman. Tidak jarang masyarakat juga ikut membiayai pengelolaan makam. Namun tidak semua masyarakat di daerah Jawa selalu membawa sadranan. Salah satu yang khas dan pasti ada di setiap Nyadran, adalah acara makan bersama atau kenduri. Prosesi ini menjadi salah satu yang ditunggu oleh warga. Setiap keluarga membawa masakan hasil bumi.

Masyarakat yang melakukan tradisi Nyadran percaya, membersihkan makam adalah simbol dari pembersihan diri menjelang Bulan Suci. Bukan hanya hubungan manusia dengan Sang Pencipta, Nyadran dilakukan sebagai bentuk bakti kepada para pendahulu dan leluhur. Kerukunan serta hangatnya persaudaraan sangat terasa setiap kali tradisi Nyadran berlangsung.

Nyadran yang telah dijaga selama ratusan tahun, mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu. Seperti pepatah Jawa kuno yang mengatakan "Mikul dhuwur mendem jero" yang kurang lebih memiliki makna “ajaran-ajaran yang baik kita junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun