Di era digital ini, informasi bergerak lebih cepat dari sebelumnya, Internet telah mempermudah akses ke berita dan informasi, tetapi juga membawa tantangan baru dalam hal keberagaman informasi yang diterima masyarakat. Salah satu dampak paling signifikan dari perkembangan teknologi ddigital adalah kemunculan fenomena filter bubble dan echo chamber yang semakin meresap dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya, yang sangat dipengaruhi oleh algoritma yang digunakan oleh media sosial dan platform berita, telah mengubah cara kita mengonsumsi informasi. Dalam konteks jurnalisme, fenomena ini tidak hanya berpotensi merugikan kredibilitas mdia, tetapi juga memengaruhi cara kita memahami dunia di sekitar kita.Â
Apa itu Filter Bubble dan Echo Chamber?
Sebelum membahas dampaknya, penting untuk memahami terlebih dahulu pa yang dimaksud dengan filter bubble dan echo chamber. Filter Bubble adalah konsep yang diperkenalkan oleh Eli Pariser pada 2011, di mana algoritma yang digunakan oleh mesin pencari atau platform media sosial hanya menyajikan informasi yang sesuai dengan preferensi atau pandangan pengguna. Algoritma ini menyaring konten yang tidak relevan atau tidak sesuai dengan apa yang biasanya diklik atau dilihat oleh  pengguna, sehingga membatasi eksposur mereka terhadap pandangan atau informasi yang berbeda.
Sementara itu, echo chamber merujuk pada situasi di mana pandangan atau opini tertentu hanya diperkuat dan diputar ulang oleh kelompok yang sudah setuju atau berpikiran sama, sehingga menciptakan lingkungan di mana perbedaan pendapat sulit berkembang. Orang-orang di dalam echo chamber cenderung mendukung dan memperkuat pandangan yang telah ada, tanpa adanya ruang untuk diskusi atau dialog yang bersifat kontradiktif. Akibatnya, sikap berpikir masyarakat semakin tertutup, dan ruang untuk kritik atau perbedaan menjadi sangat terbatas.
Algoritma dalam jurnalisme, menyaring atau mengisolasi?
Kombinasi antara filter bubble dan echo chamber dapat menyebabkan munculnya kekuatan-kekuatan yang membatasi kebebasan informasi, yang pada gilirannya mengancam keberagaman pandangan dan diskusi publik. Akibatnya, kualitas jurnalisme pun ikut terpengaruh, di mana informasi yang disampaikan sering kali hanya mencerminkan pandangan tertentu yang lebih populer, bukan mencerminkan gambaran yang lebih lengkap dan berimbang dari realitas.
Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan algoritma yang tidak hanya memprioritaskan kepentingan komersial atau minat pribadi dari pengguna, tetapi juga yang dapat menempatkan informasi jurnalisme sebagai prioritas utama. Algoritma yang bertanggung jawab dapat membantu mencegah munculnya filter bubble dan echo chamber dengan cara menyediakan akses yang lebih seimbang terhadap berbagai konten dan perspektif. Algoritma seperti ini bertujuan untuk mempromosikan informasi berdasarkan relevansi dan kualitas, bukan semata-mata karena popularitas atau minat individu.
Algoritma dalam Jurnalisme: Menyaring atau Mengisolasi?
Algoritma yang digunakan oleh platform-platform seperti Google, Facebook, dan Twitter bertujuan untuk mempersonalisasi pengalaman pengguna dan memberikan mereka konten yang paling relevan. Namun, dalam konteks jurnalisme, algoritma ini justru menciptakan filter bubble yang mengisolasi pembaca dari informasi yang lebih luas. Sebagai contoh, seseorang yang sering membaca artikel tentang politik dengan pandangan tertentu cenderung akan terus menerima konten yang serupa. Ini membatasi kemampuan mereka untuk melihat isu-isu dari perspektif lain, yang pada akhirnya dapat memperburuk ketidakseimbangan informasi.
Dampaknya pada jurnalisme sangat besar. Di satu sisi, algoritma memungkinkan penyebaran informasi secara cepat, namun di sisi lain, mereka juga mengarah pada homogenisasi konten yang beredar. Ketika pembaca hanya disuguhkan dengan pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka, kemampuan mereka untuk berpikir kritis terhadap isu yang lebih luas menjadi terhambat. Hal ini dapat menurunkan kualitas diskusi publik dan mengurangi potensi jurnalisme dalam memberikan wawasan yang lebih dalam.
Polarisasi Sosial: Antara Saling Mendengar dan Saling Mengunci
Salah satu dampak nyata dari fenomena filter bubble dan echo chamber adalah meningkatnya polarisasi sosial. Ketika orang terjebak dalam ruang yang hanya memperkuat pandangan mereka, mereka cenderung mengabaikan atau menolak informasi yang berbeda. Ini menciptakan jurang antara kelompok-kelompok dengan pandangan yang berbeda, sehingga sulit untuk berdialog dengan baik.
Polarisasi ini juga merugikan jurnalisme. Media seharusnya menyajikan berbagai perspektif dan mendorong perdebatan yang sehat. Namun, media justru bisa memperburuk perpecahan. Ketika polarisasi meningkat, kepercayaan terhadap media juga bisa menurun. Jika pembaca merasa media hanya menampilkan satu sisi cerita, mereka mungkin mulai meragukan objektivitas dan integritas berita yang disajikan.Â
Pengaruh pada Kredibilitas Media
Media jurnalisme yang terlalu bergantung pada algoritma untuk menyampaikan berita juga berisiko merusak kredibilitas mereka. Ketika algoritma mulai menentukan berita apa yang akan diterima oleh audiens, ada kemungkinan bahwa informasi yang lebih kontroversial atau tidak sesuai dengan pandangan mayoritas akan disaring atau bahkan dihindari. Ini menciptakan masalah besar bagi jurnalisme yang seharusnya berfungsi sebagai penyeimbang dalam masyarakat demokratis.
Lebih jauh lagi, platform yang mengandalkan algoritma untuk mengedarkan berita sering kali lebih tertarik pada klik dan interaksi daripada kualitas informasi yang disampaikan. Berita sensasional atau kontroversial, yang cenderung menarik perhatian, sering kali lebih mendapat prioritas dalam distribusi berita. Hal ini menyebabkan berita yang lebih bernilai, namun kurang menarik, sering kali terpinggirkan. Dengan demikian, pembaca semakin terjebak dalam lingkaran konten yang tidak hanya terbatas, tetapi juga tidak seimbang.
Bagaimana Mengatasi Isu ini?
Untuk mengurangi dampak negatif dari filter bubble dan echo chamber pada jurnalisme, beberapa langkah perlu diambil. Pertama, ada kebutuhan untuk transparansi dalam penggunaan algoritma oleh platform digital. Pengguna berhak mengetahui bagaimana informasi dipilih dan diprioritaskan, serta dampaknya terhadap pandangan mereka. Dengan lebih memahami algoritma yang bekerja di balik layar, pengguna dapat membuat pilihan yang lebih sadar tentang apa yang mereka konsumsi.
Kedua, media perlu berfokus pada penyajian berita yang beragam dan mendalam, bukan hanya berita yang menarik klik. Ini bisa mencakup upaya untuk lebih memperhatikan sudut pandang yang berbeda dan menyajikan berbagai perspektif dalam laporan mereka. Jurnalis juga perlu berkomitmen untuk melawan sensationalisme dan berfokus pada fakta, yang pada akhirnya akan mengembalikan kepercayaan publik pada media.
Terakhir, penting bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mengatasi polarisasi ini dengan lebih terbuka terhadap informasi yang berbeda. Ini bukan hanya tugas media atau platform digital, tetapi juga tantangan bagi setiap individu untuk lebih kritis dan terbuka dalam mencari informasi dari berbagai sumber.
Jadi, filter bubble dan echo chamber yang diciptakan oleh algoritma memang membawa dampak yang signifikan pada jurnalisme. Mereka mengisolasi pembaca dari informasi yang lebih luas, memperburuk polarisasi sosial, dan merusak kredibilitas media. Namun, dengan kesadaran yang lebih besar terhadap dampak-dampak ini dan dengan langkah-langkah yang lebih proaktif dari pihak media, platform digital, dan masyarakat, kita masih bisa menciptakan lingkungan informasi yang lebih seimbang dan konstruktif. Jurnalisme yang beragam dan mendalam tetap penting untuk menjaga kualitas diskusi publik dan memperkuat masyarakat demokratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H