Jangan pake BPJS! Pelayanannya beda sama reguler. Apalagi operasi, hati-hati dikasih dokter yang jam terbang dikit. Nanti ada apa-apa lho. - bisikan seseorang.
Apa benar?
Pertanyaan itu sempat singgah dalam pikiran saya. Sebelum akhirnya saya memilih untuk tabayyun terlebih dahulu.  Surfing dari satu website ke website lain untuk membaca pengalaman orang lain menggunakan BPJS. Kesan mereka, baik dan tidak ada masalah. Kebetulan, Ibu dan Ayah adalah PNS.Â
Beberapa kali saya menggunakan fasilitas BPJS saat namanya masih 'Askes'. Nyatanya, tidak ada kendala pra dan pasca pengobatan. Penyakit yang saya keluhkan, alhamdulillah sembuh. Sehingga, alasan apa lagi yang harus saya cemaskan jika sebelumnya tidak ada masalah?
Jika boleh bertransisi ke masa lalu, saya ingat betul ketika ibu menyarankan untuk memeriksakan diri ke salah satu RSGM di Surabaya. Ya, gigi graham paling belakang saya bermasalah. Dia sedang hobi untuk mendorong teman sebelahnya sehingga terkadang terasa nyeri dan nyut-nyutan. Saya pun mengamini sarannya.Â
Disana, Dokter meminta untuk mampir terlebih dahulu di unit radiologi agar dilakukan pemotretan menyeluruh pada gigi saya. Dan sesuai dugaan sebelumnya, untuk mengatasi permasalahan ini satu-satunya cara adalah dengan melakukan operasi pencabutan. Sembari menahan napas, saya memberanikan diri untuk bertanya.
"Berapa dok biayanya?"
"4 juta mbak."
Jedier. Dengan menyandang gelar sebagai mahasiswa tak bekerja sambilan mana mungkin saya ada duit segitu. Tentunya, perasaan tidak enak untuk meminta uang pada orang tua terus menghantui. Sekembalinya di rumah, saya membulatkan tekad untuk mandiri dan tidak kembali menghabiskan uang ayah ibu. Baiklah, pakai BPJS.
Hal pertama yang saya lakukan adalah pergi ke puskesmas! Biayanya berapa untuk berkonsultasi disana? Gratis dong. Dokternya ramah, dan menjelaskan mengapa gigi saya bisa begitu.Â
Sayangnya, operasi kecil tidak bisa dilakukan di puskesmas, harus dirujuk ke rumah sakit. Karena sudah mengantongi referensi rumah sakit, maka ketika ditanya ingin dirujuk kemana saya bisa menjawab dengan pasti. Ya, saya memilih RSU Haji sebagai tempat rujukan.
Setelah mengantongi surat rujukan, keesokan harinya saya menuju rumah sakit. Sempet deg-degan juga, karena harus mengurusi semuanya sendiri. Mulai dari bikin kartu member, sampai akhirnya menunggu panggilan.
"Nasywa."
Akhirnya suara yang saya nantikan bersuara juga. Saya masuk ke ruangan dokter dan menyerahkan lembaran kertas film.
 "Kenapa giginya mbak?"
"Ini dok, gigi saya nyenggol sebelahnya. Takutnya bisa bikin gigi geser."
"Oh iya, bener itu mbak. Harus segera dicabut."
"Eng... sakit ngga dok ya?"
"Ngga dong. Kalo sunat kan kayak digigit semut. Nah ini pas operasi ngga kerasa apa-apa." Kelakar sang dokter yang disambut tawa kecil kami berdua.
Pernyataan dokter benar juga, karena saat operasi tentu menggunakan bius lokal. Tapi kemudian saya tersadar, bahwa ada post condition dari aktivitas operasi ini.
"Nah, setelah operasi apakah pipi saya bengkak nantinya?"
"Yang bengkak bukan pipinya, tapi gusinya. Usai operasi ada efek samping yang dialami pasien dan itu berbeda-beda. Ada yang bengkak seminggu, ada yang biasa aja. Dan kita ngga bisa prediksi akan seperti apa respon tubuh tiap orang."
Wah. Wah. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana rupa saya nantinya. Tapi ya demi kesehatan, apapun harus saya hadapi!
"Baik dok, saya siap."
"Silahkan mendaftar kepada mas yang di pojok itu mbak. Oh iya mbak, sebagai dokter saya hanya berusaha. Untuk kesuksesan, kelancaran, dan kemudahan operasi tetap menjadi kuasa Allah. Jangan lupa untuk meminta izin orang tua, karena restu mereka adalah restu Allah."
Jiwa yang telah mengering, serasa disiram air kembali. Adem. Tenteram. Kembali diingatkan bahwa makhluk-makhluk yang berkeliaran di dunia ini semua dalam genggaman-Nya. Segala daya tetap pada kendali-Nya. Saya tersenyum lebar dan mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya berpindah lokasi dari dokter yang mungkin berusia 40 tahunan itu.
Mas-mas itu tersenyum sekilas sebelum dia membuka sebuah buku besar berwarna biru. Dia menunjukkan padatnya antrean yang disesuaikan dengan jadwal dokter bedah. Jadwal terdekat yang bisa saya pilih yaitu pada bulan maret, yang mana masih dua bulan lagi dari sekarang. Tentu saja saya kaget dengan lamanya antrean.Â
Namun saya memahami bahwa hal ini dikarenakan kapasitas dokter bedah yang terbatas dan juga tingginya permintaan. Baiklah, saya memilih hari kamis agar saya bisa beristirahat pada akhir pekan.
Dua bulan berlalu. Saya sengaja meminta jadwal siang karena paginya harus ngampus. Kali ini saya tidak sendirian, ada ibu disamping yang sudah tiba di rumah sakit lebih awal. Dia menyodorkan roti untuk mengurangi rasa grogi yang tidak bisa disembunyikan dari wajah. Paham betul jika makanan adalah obat yang mujarab untuk memperbaiki mood.Â
Waktu menunjukkan pukul 13.00 dan saya telah masuk ke dalam ruang operasi. Pakaian hijau khas pasien operasi sudah menempel di badan. Asisten dokter sibuk menyiapkan beberapa peralatan, sebelum akhirnya dokter masuk sembari menyetel sebuah ceramah.
"Mbak, ini ceramahnya ustadz Hanan Attaki bagus banget. Cerita tentang masa muda yang nantinya akan dimintai pertanggung jawaban."
"Wah, Dokter seneng denger tausiyah beliau juga?"
"Iya mbak. Selalu 'kena' saat mendengarkan nasihat beliau."
Pikiranku yang awalnya dipenuhi ketakutan dan kecemasan, mulai cooling down. Fokus saya berganti pada ceramah ustad yang sedang naik daun dengan kualitas ceramahnya itu.
"Saya suntik obat bius ya mbak."
Nyuuuut. Saya menegangkan otot kaki menahan sakitnya obat bius itu.
"Habis ini gusi akan terasa menebal."
Kurang lebih proses operasi itu berjalan selama 15 menit. Tidak ada rasa sakit yang saya rasakan kecuali saat jarum bius menembus gusi. Meskipun saya sempat melihat helaian benang dengan mata saya sendiri, namun ya benar-benar tidak terasa. Saya keluar ruangan dengan senyum merekah.
"Nggak sakit." Ucap saya bahagia pada ibu yang menunggu santai di ruangan.
"Oh iya? Pantes senyum-senyum gitu."
Ya, operasi gigi adalah pengalaman pertama yang saya alami selama ini. Bayang-bayang ketakutan, cemas, tidak percaya diri terlanjur menghantui sebelum akhirnya saya membuktikan sendiri bahwa operasi kecil ini tidak semenakutkan itu.Â
Dokter yang ramah, bekerja dengan setulus hati, tidak membeda-bedakan pasien 'gratis' dan 'berbayar' menjadi fakta yang saya temukan langsung saat menggunakan fasilitas BPJS.Â
Gigi saya berhasil dicabut sesuai prosedur tanpa ada cacat sedikitpun. Mereka tetap profesional menangani pasiennya, memberikan pelayanan yang luar biasa dan tentunya sepenuh hati mengabdi untuk negeri. Masih ragu memanfaatkan kebaikan BPJS?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H