Namun, cobaan tidak berhenti di situ. Harga pupuk melonjak tinggi di pasar, sementara uang tabungan Hamzah sudah hampir habis. Ia pun mendatangi Pak Darman, seorang saudagar kaya yang terkenal sering meminjamkan uang dengan bunga tinggi.
“Pak Darman,” ujar Hamzah, “saya butuh pinjaman untuk membeli pupuk. Insya Allah, saya akan mengembalikan setelah panen nanti.”
Pak Darman tertawa kecil. “Tentu bisa, Hamzah. Tapi kau tahu aturannya, bukan? Aku tidak memberikan pinjaman secara cuma-cuma. Ada bunga yang harus kau bayar.”
Hamzah terdiam. Hatinya bergejolak. Ia tahu, meminjam uang dengan bunga adalah riba, sesuatu yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Tapi bagaimana ia bisa melanjutkan usahanya tanpa modal?
Setelah berpikir panjang, Hamzah memutuskan untuk menolak tawaran Pak Darman. “Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima syarat itu. Saya lebih memilih mencari jalan lain yang lebih diridai Allah.”
Pak Darman mendengus kesal. “Kau ini keras kepala, Hamzah. Hidup tidak akan berubah kalau kau terus bertahan dengan idealismemu!”
Hamzah hanya tersenyum tipis. “Biar sedikit, asalkan halal dan berkah.”
Keajaiban Datang
Di tengah kesulitan itu, Allah memberi jalan. Suatu pagi, Hamzah bertemu dengan seorang petani tua bernama Pak Ahmad di pasar. Pak Ahmad, yang sudah lama mengenal Hamzah, tergerak oleh ketulusan pemuda itu.
“Hamzah, aku punya sisa pupuk yang tidak terpakai. Kalau kau mau, ambillah saja. Anggap ini bantuanku untuk perjuanganmu,” ujar Pak Ahmad.
Hamzah tak kuasa menahan haru. “Terima kasih, Pak Ahmad. Semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan keberkahan yang melimpah.”