Mohon tunggu...
Mahardynastika
Mahardynastika Mohon Tunggu... Bankir - Kadang curhat kadang sekedar berbagi

A blessed mom, a happy wife, a central banker in regional representative office

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Parenting sebagai "Bauran" Seni, Edukasi, Psikologi, dan Naluri

24 Juli 2019   10:04 Diperbarui: 24 Juli 2019   18:46 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang tua masa kini, berilmu tentunya menjadi syarat mutlak dalam mendidik dan membesarkan anak. Mencari ilmu bisa berbekal gadget atau bahkan dengan merogoh kocek melalui pembelian buku parenting yang ditulis oleh penulis dari berbagai latar belakang profesi. Bahkan, tanpa dicaripun ilmu itu akan datang sendiri melalui berbagai media sosial misalnya lewat feed instagram atau forward message di grup whatsapp.

Namun kemudian, seberapa jauh kita bisa mengaplikasikan berbagai idealisme dan teori mengenai mengasuh anak dalam kehidupan parenting kita? Well, sedikit pemikiran saya sebagai newbie mom and blogger boleh saya bagi di sini.

Dari hasil psikotest dan background study, darah teori tak bisa berhenti mengalir dalam pikiran saya. Seluruh dunia harus tahu, bahwa teori dari hasil pembelajaran itu akan banyak benarnya. Selain itu, tuntutan pergaulan mengharuskan ibu-ibu harus jadi ibu yang ideal paripurna dengan bekal ilmu pengetahuan parenting yang mumpuni. 

Scrolling feed IG untuk mendidik dan mencari inspirasi bagi dunia peranakan sungguhlah tidak bisa dijauhkan dari daftar rutinitas harian.

Pun infografis-infografis dari akun ternama. Ketika masih hamil, susu formula menjadi musuh utama bagi saya. Ya... sampai si bayi usia 9 bulan akhirnya saya dihadapkan dengan kompleksitas sebagai ibu pekerja. 

Saya harus menambahkan susu formula sebagai penunjang atas saran dokter. Keadaan yang memilih untuk bekerja juga membuat saya terbatas dalam menyuplai ASI. Mau menyalahkan kantor tentunya tidak bisa, karena ini adalah pilihan saya pribadi untuk bekerja. 

Mau bandel terus-terusan memompa juga sulit karena selain berperan sebagai ibu, di sisi lain saya punya moral tanggungjawab bekerja, tidak hanya sebagai supplier ASI untuk anak. Toh uang yang saya peroleh dari kantor juga untuk anak dan kelak harus dipertanggungjawabkan.

Berbekal ilmu parenting dari infografis yang bersliweran di feed saya, saya memutuskan untuk menaruh anak saya di kursi makan bayi alias baby chair pada hari-hari MPASI pertamanya. 

Dari segi menu tentunya MPASI bintang tujuh yang well prepared beserta peralatan MPASI BPA free yang mahal, food processor terkini, segala macam makanan berbahan organik, dan selama proses makan saya menjauhkan ia dari segala bentuk distraksi sesuai teori. Tapi apa? Si bayi bukan tipe pemakan yang ulung rupanya. 

Baby S tidak terlalu tertarik dengan makanannya sedari awal. Berbekal ilmu parenting itu pula, saya meneguhkan diri untuk tetep terus-terusan mencoba sesuai teori (supaya istiqomah katanya). 

Saya teruskan teori tersebut selama dua bulan berikutnya sampai akhirnya di kurun waktu tersebut berat badannya stagnan. Menurut saya, 2 bulan adalah waktu yang panjang untuk perkembangan anak.

Saya kembali memutar otak, mengeleminiasi idealisme saya yang berasal dari hembusan instagram. Tak lama dari waktu tersebut ndilalah saya harus melakukan dinas luar kota yang cukup lama. 

Sekalian lah saya cobakan bubur fortifikasi berbagai merk dan rasa (ibu-ibu jaman sekarang sih anti menyebutkannya bubur instan), ternyata betul... baby S doyan. Sambil pelan-pelan saya mengajari dia makanan rumahan, setidaknya ia makan bubur instan satu kali dalam sehari dari tiga kali makan. 

Dalam perkembangannya, memang tidak secepat anak lain yang secara teori 1 tahun sudah bisa makan makanan rumah. di usianya yang sudah toddler sekarang pun ia masih makan nasi lemes, tapi saya amati makin besar dia makin doyan makan. 

Apalagi sejak giginya lengkap, dia tertarik dengan semua makanan orang besar, sampai saya sendiri yang harus bilang stop. Hmm... Oke baiklah, dalam hal makan saya langgar berbagai teori idealisme ibu masa kini.

Dalam perkembangannya, semakin besar dan dewasa anak, semakin "ada-ada saja". Banyak juga ternyata milestone anak yang nampaknya lucu nggak lucu untuk dilihat. 

Misalnya saja menginjak 15 bulanan, si anak gemar sekali memukul. Tentunya sebagai ibu yang harus menjadi sosok penyabar, senyuman entah tulus ataupun kecut harus senantiasa terpasang meski muka dan jahitan bekas SC turut dipukul-pukul. Haram juga bagi saya mengatakan "jangan" kepada anak sesuai teori yang mengemuka saat ini. 

Segala cara diaplikasikan agar anak teralih dari kegiatan pukul memukulnya tanpa ada kata "jangan"yang terlontar. Sampai kemudian datanglah eyangnya.

Di tengah asiknya bermain, si anak suka sekali memukul wajah eyangnya yang dianggapnya imut itu. Sekali lagi, sebagai ibu berilmu yang harus bijak saya menegur baby S "Nak, disayang dong eyangnya" repeat 10x di kesempatan yang berbeda. 

Lama-lama bukan hanya tangan yang ia pukulkan ke wajah eyangnya tetapi malah mainannya juga. Alhasil saya pegang tangannya dan saya melotot sejadi-jadinya seraya berkata “Nak, jangan pukul eyang kung lagi, kasian kan, nanti eyang sakit kamu nggak ada yang nemenin gimana?”

Sebetulnya eyangnya sendiri yang mengajarkan untuk "jangan bilang jangan pada anak". Kalimat yang kontradiktif agaknya. Dari mana kakek nenek punya teori itu? Dari medsos juga rupanya. Atas situasi tersebut mulailah idealisme kebijaksanaan saya meluntur. Mungkin itu marah pertama saya ke anak saya yang saat itu menginjak usia toddler. 

Di usianya yang menjelang dua tahun, makin sering juga terucap kata "jangan"padanya. Bagaimana tidak, ketika anak mengambil benda tajam, rasanya lebih bijak untuk segera berteriak dan mengambil alih ketimbang mikir kalimat tanpa kata "jangan".

Sampai juga pada suatu momen, saya dan ibu saya berdebat terkait parenting. Agak lucu sih, akibat pengaruh ilmu-ilmu dan teori parenting terkini, mama saya jadi lupa bagaimana dulu mendidik kami. 

Suatu ketika anak saya sedang main di luar saat menjelang maghrib, di kota kami ada saat-saat tertentu angin datang kencang, jadi tanpa teori apapun sewajarnya anak masuk rumah. 

"Nak, masuk rumah yuk udah gelap."yang  saya dapatkan hanya abai. Sampai harus diulang lagi beberapa kali hingga munculah kalimat "Liat tangan mama, tuh udah gelap. Mama sih takut."Kemudian baby S minta gendong dan dimulailah sengketa dengan eyang putrinya.

"Anak jangan ditakut-takuti nanti dia jadi penakut, gak bisa mengemukakan pendapat dan seterusnya dan seterusnya." Dengan santai saya menjawab "Mama, perasaan dulu mama takut-takuti aku dengan ulat bulu, hantu, pak polisi, dokter, ambulans. Aku takut sih pas itu karena masih kecil dan harus nurut orang tua, tapi sekarang apa sih yang nggak kulakukan? Merantau jauh bertahun-tahun sudah, naik motor lewat kuburan udah, operasi SC juga nantang dokternya ‘lusa aja gimana dok?’"

Atas kesadaran ibu saya bahwa saat ini beliau bisa bersabar karena posisinya yang sebagai nenek (bukan mama) serta menghormati peran saya sebagai ibu, ibu saya terdiam dan mengalah.

Beberapa hari setelahnya, sepulang kerja, saya mendapati si anak lagi mandi bola di rumah dengan media berupa beras yang dihambur-hamburkan di dalam sejenis kolam bermainnya. 

Sontak saya ngomel "Maaak, ini siapa yang ngajarin, ini beras dari hasil beli, mana ini yang organik pula."Catatan, beras organik tersebut diperoleh bukan karena gaya-gayaan tapi untuk membantu petani yang merupakan responden survei di kantor saya yang pro-organik yang saat itu tengah kesusahan menjual produknya (yang ini diabaikan gak papa sih). Tak lama muncul eyang putrinya "Nggak papa, nanti kan sebelum dimakan dicuci, biar anak belajar metode m**tesor*." 

Emosi yang mereda karena istighfar mengantarkan saya pada sebuah tanya "Mama tau darimana sih metode begitu?". Dengan polos dan tanpa rasa bersalah ibu saya menjawab "Itu, dari WAnya tante xxxx temennya mama katanya anak harus mainan -ini itu ini itu- biar dia pinter dan cinta alam."

Dari situ saya mulai resah bahwasanya seringkali dalam parenting kita menelan banyak teori mentah-mentah. Apalagi masih muda, aktif bersosial, dan anak pertama. 

Di suatu momen perenungan yang indah, saya mencoba sisi waras saya untuk berpikir bahwa perlu emang seorang ibu berilmu, tapi tidak bisa untuk keras kepala terpaku pada suatu kaidah ilmu parenting tertentu. Sebagai orang tua ternyata harus punya ilmu seni juga untuk mengedukasi anak dan mengungkapkan emosinya dengan benar.

Dulu saya sering ditakut-takuti oleh orang tua saya, tapi nyatanya sekarang luntur juga berbagai rasa takut saya terhadap hal-hal irasional. Bukan didikan orang tua yang mengantarkan saya jadi anak pemberani, tetapi karena tuntutan lingkungan dan keadaan malahan. 

Saya juga dibesarkan oleh orang tua yang jauh dari kata ideal jaman now. Ibu saya adalah ibu rumah tangga, namun dari bayi saya sudah diselingi susu formula, makanan juga makanan instan sachetan yang harganya murah. Tapi, hingga detik ini saya tidak pernah menghubung-hubungkan sebab akibat dalam hidup dengan masa lalu terkait pola asuh orang tua saya.

Akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa yang terpenting, pada cara apapun yang dianut dalam mengasuh anak, gunakanlah naluri serta akal sehat kita sebagai orang tua. Jangan lupa berdoa, membaca Bismillah, semoga apapun yang kita berikan ke anak kiranya menjadi berkah, kesehatan, kepandaian, dan nasib yang baik untuk ananda. Aamiin yra.

Jadi untuk ibu-ibu dengan anak pertama, untuk diingat ya, jangan takut dan selalu terlalu terpaku pada teori babibu yang beredar di feed media sosial anda dalam mendidik anak. Misalnya, alih-alih menjauhkan anak mutlak dari gadget, kalau saya sih, mending di tempat tertentu anak saya main gadget (di kereta api misalnya) daripada ia berteriak-teriak mengganggu orang. 

Kita harus toleran lho di kereta api sebagai sesama penumpang. Apalagi di kereta api setahu saya banyak orang capek perjalanan, penglaju, dll. 

Jangan sampai idealisme kita merugikan orang lain. Toh anak gak seterusnya kita cantolin gadget kan. Ini kalau saya sih. Bagaimanapun cara parenting anda salam waras ya dari saya. Keep happy. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun