Sampai juga pada suatu momen, saya dan ibu saya berdebat terkait parenting. Agak lucu sih, akibat pengaruh ilmu-ilmu dan teori parenting terkini, mama saya jadi lupa bagaimana dulu mendidik kami.Â
Suatu ketika anak saya sedang main di luar saat menjelang maghrib, di kota kami ada saat-saat tertentu angin datang kencang, jadi tanpa teori apapun sewajarnya anak masuk rumah.Â
"Nak, masuk rumah yuk udah gelap."yang  saya dapatkan hanya abai. Sampai harus diulang lagi beberapa kali hingga munculah kalimat "Liat tangan mama, tuh udah gelap. Mama sih takut."Kemudian baby S minta gendong dan dimulailah sengketa dengan eyang putrinya.
"Anak jangan ditakut-takuti nanti dia jadi penakut, gak bisa mengemukakan pendapat dan seterusnya dan seterusnya." Dengan santai saya menjawab "Mama, perasaan dulu mama takut-takuti aku dengan ulat bulu, hantu, pak polisi, dokter, ambulans. Aku takut sih pas itu karena masih kecil dan harus nurut orang tua, tapi sekarang apa sih yang nggak kulakukan? Merantau jauh bertahun-tahun sudah, naik motor lewat kuburan udah, operasi SC juga nantang dokternya ‘lusa aja gimana dok?’"
Atas kesadaran ibu saya bahwa saat ini beliau bisa bersabar karena posisinya yang sebagai nenek (bukan mama) serta menghormati peran saya sebagai ibu, ibu saya terdiam dan mengalah.
Beberapa hari setelahnya, sepulang kerja, saya mendapati si anak lagi mandi bola di rumah dengan media berupa beras yang dihambur-hamburkan di dalam sejenis kolam bermainnya.Â
Sontak saya ngomel "Maaak, ini siapa yang ngajarin, ini beras dari hasil beli, mana ini yang organik pula."Catatan, beras organik tersebut diperoleh bukan karena gaya-gayaan tapi untuk membantu petani yang merupakan responden survei di kantor saya yang pro-organik yang saat itu tengah kesusahan menjual produknya (yang ini diabaikan gak papa sih). Tak lama muncul eyang putrinya "Nggak papa, nanti kan sebelum dimakan dicuci, biar anak belajar metode m**tesor*."Â
Emosi yang mereda karena istighfar mengantarkan saya pada sebuah tanya "Mama tau darimana sih metode begitu?". Dengan polos dan tanpa rasa bersalah ibu saya menjawab "Itu, dari WAnya tante xxxx temennya mama katanya anak harus mainan -ini itu ini itu- biar dia pinter dan cinta alam."
Dari situ saya mulai resah bahwasanya seringkali dalam parenting kita menelan banyak teori mentah-mentah. Apalagi masih muda, aktif bersosial, dan anak pertama.Â
Di suatu momen perenungan yang indah, saya mencoba sisi waras saya untuk berpikir bahwa perlu emang seorang ibu berilmu, tapi tidak bisa untuk keras kepala terpaku pada suatu kaidah ilmu parenting tertentu. Sebagai orang tua ternyata harus punya ilmu seni juga untuk mengedukasi anak dan mengungkapkan emosinya dengan benar.
Dulu saya sering ditakut-takuti oleh orang tua saya, tapi nyatanya sekarang luntur juga berbagai rasa takut saya terhadap hal-hal irasional. Bukan didikan orang tua yang mengantarkan saya jadi anak pemberani, tetapi karena tuntutan lingkungan dan keadaan malahan.Â