Mohon tunggu...
Mahardynastika
Mahardynastika Mohon Tunggu... Bankir - Kadang curhat kadang sekedar berbagi

A blessed mom, a happy wife, a central banker in regional representative office

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Parenting sebagai "Bauran" Seni, Edukasi, Psikologi, dan Naluri

24 Juli 2019   10:04 Diperbarui: 24 Juli 2019   18:46 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya kembali memutar otak, mengeleminiasi idealisme saya yang berasal dari hembusan instagram. Tak lama dari waktu tersebut ndilalah saya harus melakukan dinas luar kota yang cukup lama. 

Sekalian lah saya cobakan bubur fortifikasi berbagai merk dan rasa (ibu-ibu jaman sekarang sih anti menyebutkannya bubur instan), ternyata betul... baby S doyan. Sambil pelan-pelan saya mengajari dia makanan rumahan, setidaknya ia makan bubur instan satu kali dalam sehari dari tiga kali makan. 

Dalam perkembangannya, memang tidak secepat anak lain yang secara teori 1 tahun sudah bisa makan makanan rumah. di usianya yang sudah toddler sekarang pun ia masih makan nasi lemes, tapi saya amati makin besar dia makin doyan makan. 

Apalagi sejak giginya lengkap, dia tertarik dengan semua makanan orang besar, sampai saya sendiri yang harus bilang stop. Hmm... Oke baiklah, dalam hal makan saya langgar berbagai teori idealisme ibu masa kini.

Dalam perkembangannya, semakin besar dan dewasa anak, semakin "ada-ada saja". Banyak juga ternyata milestone anak yang nampaknya lucu nggak lucu untuk dilihat. 

Misalnya saja menginjak 15 bulanan, si anak gemar sekali memukul. Tentunya sebagai ibu yang harus menjadi sosok penyabar, senyuman entah tulus ataupun kecut harus senantiasa terpasang meski muka dan jahitan bekas SC turut dipukul-pukul. Haram juga bagi saya mengatakan "jangan" kepada anak sesuai teori yang mengemuka saat ini. 

Segala cara diaplikasikan agar anak teralih dari kegiatan pukul memukulnya tanpa ada kata "jangan"yang terlontar. Sampai kemudian datanglah eyangnya.

Di tengah asiknya bermain, si anak suka sekali memukul wajah eyangnya yang dianggapnya imut itu. Sekali lagi, sebagai ibu berilmu yang harus bijak saya menegur baby S "Nak, disayang dong eyangnya" repeat 10x di kesempatan yang berbeda. 

Lama-lama bukan hanya tangan yang ia pukulkan ke wajah eyangnya tetapi malah mainannya juga. Alhasil saya pegang tangannya dan saya melotot sejadi-jadinya seraya berkata “Nak, jangan pukul eyang kung lagi, kasian kan, nanti eyang sakit kamu nggak ada yang nemenin gimana?”

Sebetulnya eyangnya sendiri yang mengajarkan untuk "jangan bilang jangan pada anak". Kalimat yang kontradiktif agaknya. Dari mana kakek nenek punya teori itu? Dari medsos juga rupanya. Atas situasi tersebut mulailah idealisme kebijaksanaan saya meluntur. Mungkin itu marah pertama saya ke anak saya yang saat itu menginjak usia toddler. 

Di usianya yang menjelang dua tahun, makin sering juga terucap kata "jangan"padanya. Bagaimana tidak, ketika anak mengambil benda tajam, rasanya lebih bijak untuk segera berteriak dan mengambil alih ketimbang mikir kalimat tanpa kata "jangan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun