Mohon tunggu...
Nasrul Pradana
Nasrul Pradana Mohon Tunggu... Human Resources - Praktisi Manajemen, Sarjana Psikologi, Magister Manajemen.

Praktisi HRM sejak 2010. Sarjana Psikologi dari Universitas Esa Unggul, Magister Manajemen dari Universitas Esa Unggul. nasrulpradana01@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kritik Sosial Karya Sastra Masa Lampau yang Relevan Sampai Kini

22 November 2021   14:02 Diperbarui: 22 November 2021   17:59 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Karya sastra selain sebagai karya seni yang memiliki keindahan, juga berfungsi sebagai kritik sosial. Kritik sosial dalam karya sastra adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan sebagai kontrol terhadap jalannya suatu sistem sosial atau proses bermasyarakat. 

Sastra justru dipandang paling ampuh dalam melakukan kritik sosial terhadap kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman.

Kritik sosial adalah tanggapan karya sastra terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat atau kepentingan umum yang terjadi pada masa karya tersebut dilahirkan.

Dengan mempelajari karya sastra, kita bisa memahami bagaimana rasanya hidup pada waktu tertentu, dalam kondisi tertentu. Ketika kita mempelajari dengan seksama, ternyata tidak sedikit karya sastra yang dikarang berpuluh-puluh tahun lalu masih relevan hingga saat ini. 

Sebagai contoh, kita dapat lihat daripuisi  WS Rendra yang berjudul Sebatang Lisong pada tahun 1977 sebagai kritik sosial terhadap kesenjangan sosial

Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya,

mendengar 130 juta rakyat,

dan di langit,

dua tiga cukong mengangkang, 

berak di atas kepala mereka.

Kritik sosial jelas sekali pada bait tersebut dengan mengatakan "di langit", seolah-olah ingin menggambarkan orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan tinggi, "dua tiga cukong mengangkang" mengisyaratkan orang yang mempunyai uang banyak, yang menyediakan dana atau modal yang diperlukan untuk suatu usaha, sedang "mengangkang" yaitu kata yang menggambarkan perbuatan rendahan. 

Kemudian dilanjutkan dengan kata "Berak di atas kepala mereka", lirik tersebut menggambarkan sebuah tindakan yang tidak menyenangkan dan dilakukan dengan sengaja sehingga menyebabkan orang lain menderita. 

Gubahan puisi tersebut merujuk pada keadaan sosial sekitar tahun 1977, namun apa yang terjadi dengan keadaan sosial pada saat ini?, Karya tersebut ternyata masih relevan sebagai kritik sosial pada hari-hari ini. Beberapa minggu lalu kita membaca berita seperti yang dimuat kompas.com yang mengatakan Ironi Harga Tes PCR: Dulu Bayar Rp 2,5 Juta, Kini Cuma Rp 275 Ribu (15/11/2021) tentu sangat menyedihkan, apalagi diduga bahwa ada beberapa menteri dikabinet disinyalir terlibat bisnis tersebut melalui badan usaha milik pribadinya, seperti yang kita baca kompas.com  Bantahan Luhut dan Erick Thohir Keruk Untung dari Bisnis PCR PT GSI (05/11/2021). 

Tentu saja para Menteri melalui juru bicara masing-masing membantah bahwa mereka mengejar keuntungan bisnis, mereka bertujuan sosial, namun demikian hal tersebut sangat rawan konflik kepentingan, hal ini sudah diingatkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa bulan sebelumnya, ICW Duga Ada Konflik Kepentingan dalam Penetapan Tarif PCR (20/8/2021).  

Bahwa dalam keterangannya para petinggi negara tersebut mengatakan bahwa tujuan ikut pengadaan PCR untuk kegiatan sosial dan bertujuan untuk amal, hal ini dengan cepat menimbulkan pertanyaan ditengah masyarakat seperti yang dimuat kompas.com  yang mengatakan Jika Bisnis PCR Luhut Tujuannya Amal, Kenapa Tidak Melalui Yayasan? (07/11/2021).

Kejadian ini mengundang ingatan kita pada penggalan puisi yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa pada tahun 1977 oleh WS Rendra yang mengkiritik penguasa yang berbuat sewenang-wenang sementara rakyat sedang kesusahan. 

Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras

Dan kita di sini bertanya:
"Maksud baik saudara untuk siapa?"
"Saudara berdiri di pihak yang mana?"

Iqbal Nurul Azhar (Jurnal Ilmiah ” Medan Bahasa” Volume 5, Nomor 1 2010) menganalisis makna dari puisi tersebut mengatakan bahwa "Tidak mungkin maksud baik dari seseorang dapat berseberangan dengan maksud baik dari orang lain, karena secara logika, maksud baik dari seseorang pastinya akan diterima dengan baik oleh orang lain tanpa menimbulkan pertentangan. 

Dan apabila maksud baik dari seseorang ternyata dapat bentrok dengan maksud baik orang lain, maka pastinya ada yang salah pada maksud-maksud baik tersebut, mungkin salah satunya salah, atau bahkan mungkin dua-duanya salah”.

Sementara itu, keadaaan sosial dari kurun waktu yang cukup panjang itu, yaitu keadaaan sosal yang diamati oleh WS Rendra yang kemudian direfleksikan dalam puisinya itu, sekitar tahun 1977 hingga sekarang pada abad milenium yang berkisar hampir 45 tahun, tidak ada perubahan yang mendasar, padahal selama kurun waktu tersebut terdapat sejumlah titik balik yang dianggap menjadi perubahan sosial masyarakat, sebut saja reformasi atau revolusi mental yang digaungkan oleh pemerintah. 

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa dengan mempelajari karya sastra kita dapat mengambil poin-poin tertentu sehingga kita dapat melakukan perbaikan-perbaikan tatanan sosial masyarakat yang menyimpang, dan yang paling penting adalah dengan mempelajari karya sastra kita tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti apa yang telah dilakukan orang-orang yang terdahulu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun