Politik dalam pandangan Islam bagian dari ibadah. Bagian dalam memperbesar kebaikan dan meminimalisir keburukan. Memudahkan urusan yang baik dan mempersempit ruang gerak keburukan. Semuanya dalam panji amar ma'ruf dan nahi munkar melalui kekausaan.
Melihat kebaikan politik maka generasi Islam terdahulu pun tidak pernah diam untuk berkecimpung dalam politik. Mereka terjun dengan visi dan misi tersebut.
Hiruk pikuk politik saat ini membuatku membuka lembaran-lembaran sejarah. Melihat kiprah para generasi awal Islam dalam menyikapi riak-riak dinamika politik yang berkecamuk saat itu. Banyak strategi yang mereka lakukan dalam menghadapi para penguasa dan menyikapi kekuasaan saat itu.
Para generasi awal menyikapi dengan berkiprah sebagai pemegang kepemimpinan dan kekuasaan. Bermitra dengan penguasa juga sebagai oposisi. Ini terlihat dari sejarah para Nabi.
Nabi Dawud dan Sulaiman, mereka sebagai prototipe seorang penguasa yang memiliki kekuasaan yang sangat luar biasa. Kekuasaannya tidak hanya pada manusia tetapi pada makhluk yang ada. Dari jin, binatang, tumbuhan juga yang lainnya.
Namun ditengah kekuasaan yang superpower ini Nabi Sulaiman peduli dengan semut yang kecil dan tak berdaya. Menimbang semua permasalahan dengan keadilan dengan kecerdikan.
Nabi Ibrahim dan Musa, mereka sebagi prototipe sebagai oposisi. Mereka menentang kebijakan penguasa yang zalim dan sewenang-wenang. Mereka menghadapi penyiksaan, pengejaran, perdebatan dan adu argumentasi dengan para penguasa yang ada. Namun mereka tidak melakukan pemberontakan dan perlawanan senjata.
Nabi Yusuf, prototipe berkoalisi dengan pemerintah. Nabi Yusuf menpresentasikan kemampuannya dalam membuat perencanaan, memberikan solusi agar keluar dari kebangkurtan ekonomi yang pelik juga sebagai orang yang sangat amanah dan beritergritas.
Perbedaan strategi mereka dalam menjalin hubungan dengan para penguasa sangat tergantung dari kondisi yang ada. Memandang kemaslahatan dan keburukan yang ada.
Begitu juga para ulama salaf. Mereka ada yang menjauhi kekuasaan dengan fokus pada pemberdayaan masyarkat melalui majlis ilmu, pembentukan karakter dan budaya kepada masyarakat. Ada yang menjadi oposisi terhadap khalifah seperti yang dilakukan oleh Imam Ahmad dan beberapa Imam terhadap al-Hajaj.
Dengan sikapnya ini para ulama salaf banyak juga yang dibunuh, dipenjara dan disiksa.
Para Ulama salaf pun ada yang bermitra dengan penguasa. Penguasa menjadikan mereka sebagai penasihat dan hakim. Ada ulama salaf yang mau menerima kekuasaan dan ada juga yang menolaknya.
Namun para ulama Salaf tidak pernah melakukan pemberontakan dengan peperangan kepada penguasa. Sebab selama penguasa masih menjalankan shalat maka tidak diperbolehkan melakukan pemberontakan. Semua berpolitik dengan mengungkapkan nasihat, beradu argemen dan pendapat dengan hikmah dan kadang memekakan telinga para penguasa.
Perbedaan sikap mereka dalam berinteraksi dengan para penguasa bukan asal berbeda. Tetapi mereka berpegang pada sebuah prinsip yang sudah disepakati oleh para pakar ilmu syariah yaitu menjaga dan mengembangkan akal, harta, jiwa, darah dan kehormatan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H