KETIKA MASALAH SIRI DIBAWA KE MEJA HIJAU
Sebelum  menjelaskan ihwal judul di atas, perkenankan diceritakan sedikit dua kejadian penting yang saya lihat dan dengar ketika masih duduk di SD.
Kejadian pertama, sekitar tahun 70-an. Kasusnya terjadi di Desa Loji (kini Kelurahan Loji, Kabupaten Parigi-Moutong). Tak jauh dari rumah, saya melihat seseorang dikerumuni warga. Ia tergeletak bersimbah darah. Ia korban pembunuhan.
Mengapa sampai dibunuh? Konon si korban dan pelaku awalnya memiliki persoalan pribadi. Singkat cerita, pada suatu hari korban sedang mencuci mobil. Ketika itu, bersamaan lewatlah si pelaku. Melihat pelaku sedang lewat, korban (entah sengaja atau tidak), sempat membuang ludah.
Tak terima dengan tindakan itu, maka terjadilah aksi pembunuhan. Apakah si pelaku melarikan diri? Tidak. Ia langsung menyerahkan diri ke kantor polisi. Baik korban maupun pelaku, sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan.
Peristiwa kedua, itu terjadi sekitar tahun 80-an, di Kelurahan Kayamanya, Kab. Poso. Peristiwanya tak jauh dari rumah sepupu (dekat jembatan kuning).
Kasusnya begini. Sang suami (si pelaku), dengan mata telanjang mendapati istrinya sekamar dengan pria lain. Melihat kejadian tersebut, ia langsung membunuh si pria bersama istrinya.Â
Apakah si pembunuh melarikan diri? Â Tidak juga. Pada saat itu, ia langsung menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat. Si pelaku juga berasal dari Sulawesi Selatan.
Dari dua kejadian di atas, dari situ pula lah saya sering mendengar dan memahami apa itu budaya "siri". Siri' berasal dari bahasa Makassar/Bugis, yang berarti "malu". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (online), Siri, diartikan (antara lain), keadaan tertimpa malu atau terhina dalam masyarakat Bugis dan Makassar. Budaya ini, mungkin ada juga di daerah lain, dengan istilah yang berbeda.
*****
Tak ada spesifikasi keilmuan di bidang kesirian yang kumiliki. Tapi pemahaman soal siri, penulis dapatkan dari pandangan turun-temurun di lingkungan keluarga, juga opini masyarakat Sulsel dalam menilai kasus tertentu. Â Â
Ada satu unsur yang begitu prinsip terkandung dalam budaya siri. Yaitu sikap kesatria. Dari dua contoh kasus yang ditampilkan tadi, ini memberikan isyarat, bahwa harga diri harus ditebus dengan nyawa. Tapi ada adabnya (baca: aturan main).
Pertama, harus dilakukan sendiri, dan bukan sebaliknya menyuruh orang lain; kedua, melaporkan tindakannya kepada masyarakat atau aparat yang berwenang. Bukan sebaliknya, ingin melepaskan diri dengan cara melarikan diri atau melakukan pembohongan atas perbuatan yang dilakukan.Â
Masih ada adab lainnya. Sikap kesatria dalam menghadapi orang yang menginjak-injak harga dirinya, itu ditampilkan dengan cara tidak melakukan pengeroyokan atau menjebak.
Terkait adab melapor setelah melakukan pembunuhan, konon ini yang paling sulit dimengerti oleh para penjajah tempo dulu. Risal Ramli (2022) pernah menulis, bagaimana para hakim kolonial Belanda zaman dulu, tidak bisa mengerti, mengapa orang Bugis-Makassar begitu bangga dan secara kesatria melaporkan perbuatan pembunuhannya, bila itu terkait dengan soal harga diri atau perasaan malu.
*****
Terlepas dari soal adab dalam budaya siri tadi, dalam negara hukum indonesia, tentu tak boleh ada, apa yang di sebut "eigenrichting" atau main hakim sendiri. Sikap eigenrichting dan soal harga diri ini, laksana dua sisi yang berbeda dari sebuah koin siri.
Dalam beberapa putusan pengadilan soal siri, yang memberatkan terdakwa, kebanyakan soal "main hakim" itu sendiri". Sebaliknya yang meringankan, yaitu terjadinya tindak pidana, disebabkan oleh ulah pihak lain.
Palu, 10 Sep  2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H