Ganjar Pranowo telah deklarasi sebagai calon Presiden oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Prabowo Subianto pun demikian. Anies Baswedan, sudah duluan di koalisi "sebelah".Â
Baik Prabowo maupun Ganjar, menjadi calon Presiden karena usungan Partai Gerindra dan PDIP boleh dikata tak perlu dukungan Jokowi. PDIP punyanya Megawati, sementara Gerindra punyanya Prabowo. Di Partai, nyaris Pak Jokowi tak punya apa - apa, tidak memiliki kekuatan apa - apa. Untuk mengusung capres maupun cawapres, sesungguhnya Jokowi tak punya power.Â
Namun, sebagai Presiden, Jokowi tentu memiliki partai koalisi yang mendukungnya. Selain itu, ada relawan yang setia di belakangnya. Partai - partai koalisi ini --- selain Nasdem, PDIP, Gerindra dan PKB tentunya --- boleh dikata masih "manut" dan menunggu "petunjuk pak Presiden". Di situ, masih ada Golkar, PAN, PPP.Â
Sebenarnya, masih ada PBB juga, namun, nampaknya Prof. Yusril bukan merupakan ketua umum yang tipenya "manut" bisa "diatur - atur" atau "diarah - arahkan" demikian. Meskipun, arah dukungan PBB tetap sejalan dengan "petunjuk" Presiden. Di luar itu ada juga partai non-parlemen yakni Perindo, Hanura dan PSI yang tetap setia di jalur "pemerintah". Bagaimanapun, jatah jabatan minimal wakil menteri dan lainnya masih tetap dipegang petinggi - petinggi partai ini.Â
Pasang Nilai Tawar
Pasca Ganjar ditetapkan PDIP, Jokowi seperti "disalip". Mega mengambil alih "komando". Jokowi nampak tak bisa bikin apa - apa. Bahkan, julukan sebagai "King maker" yang diberikan pengamat dan media seperti runtuh seketika. Mega lah Queen maker-nya. Ibarat celana kebesaran, pamor Jokowi seperti "melorot". Jatuh begitu saja.Â
Namun, benarkah demikian? Bukankah Jokowi selama ini dikenal "lihai" memainkan irama gendang politik di depan ketua umumnya yang mengatainya sebagai "petugas partai" itu? Menarik di simak.Â
Lantas, apakah kehadiran Jokowi di acara Musra kemarin adalah sinyal "perlawanan" itu? Bahwa Jokowi punya power dan tidak boleh diremehkan. Dia masih mengendalikan pemerintahan sampai 2024 bahkan di saat pemilihan presiden berlangsung, sementara di tataran grass root (akar rumput), barisan relawannya masih menunggu "arahannya". Kemana angin Jokowi bakal berhembus? Begitu kira - kira sinyal yang ingin dikirimnya kepada Megawati, juga ketua - ketua partai lain, yang boleh jadi "meremehkannya".Â
Dengan begitu, Jokowi seperti Cinderella yang tak ingin kehilangan "pengaruh" dan "teman" di sisa jabatannya. Ujaran "ojo kesusu", jangan tergesa - gesa bisa saja bermakna dua. Pertama, Jokowi memang tak ingin buru - buru dan berhitung secara cermat. Atau, kedua, bahwa Jokowi memang belum mendapatkan tawaran sesuai dengan kehendaknya. Memasangkan Erick Tohir "anak emasnya" dengan capres tertentu, misalnya. Apakah itu Ganjar-Erick atau Prabowo- Erick.Â
Pasca pembatalan Piala Dunia U-20, pamor Erick Tohir memang seperti sirna seketika di panggung nominasi capres-cawapres 2024. Menteri BUMN yang belakangan dinilai sebagai "anak kesayangan" Jokowi itu, seperti "dikipas" PDIP dengan komentar dua Gubernurnya yang tegas menolak kehadiran Tim Israel di helatan sepakbola yang digadang - gadang bakal mengangkat nama Erick Tohir dan tentu Jokowi. Namun, apa daya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, helatan akbar itu batal seketika.Â