Mohon tunggu...
Nasrullah Mappatang
Nasrullah Mappatang Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Alumni Fakultas Sastra UNHAS dan Pascasarjana UGM - Pegiat Sekolah Sastra (SKOLASTRA) - Mahasiswa Doktoral/ PhD di University of Malaya, Malaysia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemburuhan Dosen

11 Mei 2023   09:20 Diperbarui: 11 Mei 2023   09:41 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lakunya mirip pengecut saja. "Ibarat lempar tangan sembunyi batu".

Tulisan perihal di atas juga di platform yang sama pernah dirilis pada 10 November 2022 dengan judul Pakar Menjawab: Seperti apa potret gaji dan realitas kesejahteraan dosen di Indonesia? Mestinya, dari tulisan ini saja, jika ada itikad baik pemerintah, aturan baru yang lebih menekankan peningkatan signifikan gaji dosen dan standar penggajian yang pantas, sudah dikeluarkan. Tapi, nyatanya tidak, dan memilih diam saja seolah tidak peduli. Penjelasan memuaskan pun tak kunjung datang. Payah memang.

Jika pemerintah negeri ini punya malu, tamparan hasil riset di atas mestinya membuatnya lekas bertindak. Bukan hanya malu di hadapan pemerintah dan warga serta dosen di tetangga sebelah, tapi juga malu di hadapan warga sendiri. Ternyata, begitu cara pemimpin mereka memperlakukan kaum cerdik pandainya yang diharapkan oleh rakyat mencerdaskan anak - anak mereka. Kejengkelan itu tentu menjadi - jadi ketika menengok bagaimana rezim sekarang ini jor - joran menggelontorkan uang untuk proyek fisik, dan tak ketulungan memberikan kesejahteraan di kementerian tertentu, tapi upah dan tunjangan dosen, juga gurunya, begitu memilukan.

Patut dipertanyakan rupanya sisi kemanusiaan rezim pemerintahan hari ini. Jangan - jangan sudah berada di titik minus. Celaka sekali jika sudah demikian.

Simplifikasi Pemburuhan

Kembali ke soal dosen sebagai buruh dan dosen sebagai profesi. Keduanya bagi saya sebagai penulis adalah dua hal yang tak perlu dipertentangkan. Apakah dosen itu adalah buruh atau profesi? Jawabannya adalah keduanya. Dosen adalah buruh di hadapan tuan kampus, dan profesi dengan tanggung jawab "profetik" di hadapan masyarakat yang dilayaninya dengan keunggulan "kompetensi"-nya.

Dengan pandangan itu, institusi pendidikan yang dijangkiti virus dan bakteri neoliberal, mesti dihadapi dengan keberadaan serikat dosen. Itu sudah tepat. Namun, tugas - tugas profetik yang mulia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama dalam tridharma, tetap harus dijunjung tinggi dan dijadikan alas dasar dalam menetapkan tunjangan yang pantas, dalam hal ini bayaran tinggi di atas rata - rata pekerjaan lain. Ini juga perlu diperjuangkan. Menghadapi musuh yang ngelesnya makin canggih memang tak cukup dengan satu jurus dan ilmu kanuragan terbatas.

Seperti jurnalis, dia adalah buruh di hadapan perusahaan media tempatnya bekerja. Namun, jurnalis adalah sebuah profesi dengan tanggung jawab "profetik" dengan kompetensi menuliskan "jurnal" atau "berita" untuk dikonsumsi oleh publik. Sehingga, jurnalis adalah pelayan masyarakat dalam menyajikan informasi dalam bentuk berita kepada masyarakat. Begitupula dokter yang bekerja di instansi pemerintah atau klinik swasta, relasi kerjanya mendua diantara buruh negara dan swasta dengan profesi dokter yang diikat dengan kompetensi dan kode etik.

Olehnya, bukan hanya upah sebagai buruh yang pantas didapatkan, namun tunjangan profesi sebagai dokter, jurnalis, dan dosen. Pengacara juga begitu. Apoteker pun demikian. Insinyur apatahlagi. Singkatnya, tak pantas mendapat "gaji rendah", terlebih dilihat dan melihat diri sebagai buruh semata dengan mengesampingkan peran profetik.

Serikat dosen dan tanggung jawab profetik

Profesi - profesi dengan "tugas profetik" di atas sebagai implikasi dari "kompetensi" yang dimilikinya dalam pelayanan masyarakat, tak pantas memang jika "diburuhkan" semata oleh negara dan perusahaan. Begitupula bagi dosen dalam memandang dan mendefinisikan dirinya, tak sesederhana juga memandang diri semata sebagai buruh dan mengesampingkan kapasitas "kompetensi khusus" yang menjadi karakteristik utama lahirnya sebuah "profesi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun