Ikut memperkenalkan dan membangun Indonesia dari ladang-ladang sawit di Malaysia Timur, memang bukan hal mudah. Perlu proses panjang, penuh tantangan, baik internal atau eksternal. Tapi demi Indonesia, apalagi itu sudah menjadi tugas utama, para guru mau tak mau harus berupaya secara maksimal.
Tantangan internal paling utama adalah status pelajar CLC itu sendiri, baik lahir maupun batin. Secara lahiriah, status ke-WNI-an mereka sebenarnya masih belum jelas dan bisa dipersoalkan. Ini antara lain akibat dari ketidak-lengkapan dokumen untuk permohonan penerbitan paspor oleh Perwakilan RI (seperti surat/akte lahir, surat nikah dan dokumen kedua orang tua).
Jadi, kalau paspor saja tidak ada, yang itu merupakan "jantung" bagi seseorang jika berada di negara lain, apalagi visa atau surat izin tinggal di Malaysia. Inilah yang membuat mereka akhirnya, suka tidak suka, disebut dengan istilah yang rada miris: "Pendatang Haram", "Pendatang Asing Tanpa Izin" (PATI), yang sangat rentan terhadap peristiwa penangkapan saat razia pihak berwajib setempat.
Sementara secara batiniah, karena sebagian besar lahir dan tumbuh di Malaysia Timur, para pelajar CLC itu tentu saja sangat minim pengetahuan tentang Indonesia dalam berbagai aspeknya. Apalagi orang tua kurang peduli terhadap mereka akibat terlalu sibuk bekerja di kebun sawit. Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sebagian besar dari mereka sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ke Indonesia, setidaknya kampung halaman orang tua.
Realitas ini dilengkapi dengan tantangan eksternal berupa lingkungan dan tempat belajar (ruang kelas) CLC yang kondisi fisiknya sederhana dan lokasinya berada di negara orang. Inilah antara lain faktor yang membuat para guru CLC tidak bisa dengan leluasa beraksi untuk menanamkan dan mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan seperti halnya di negeri sendiri.
Contoh paling nyata dan sederhana adalah ini: dalam upacara bendera atau acara-acara tertentu yang bersifat kebangsaan, petugas pengibar bendera dari pelajar CLC hanya bisa membentangkan bendera merah putih dengan kedua tangannya di depan kawan-kawan, sambil diiringi lagu Indonesia Raya. Sebab oleh aturan negara setempat, kain sakral itu tidak boleh dikibarkan di atas tiang di depan sekolah, kecuali di premis-premis milik Indonesia saja (Kantor Perwakilan RI atau SIKK).
Bagaimanapun, "the show must go on,"Â kata salah seorang Guru CLC. Walau terdapat berbagai keterbatasan dan tantangan, baik internal maupun eksternal, nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan harus tetap ditanamkan dan diajarkan kepada pelajar-pelajar CLC. "Kalau tidak kita lakukan sekarang, bagaimana nasib anak-anak Indonesia itu di masa depan jika mereka kembali ke tanah air. Keindonesiaan bukan sekadar hanya ditandai dengan bukti kita punya paspor, atau kita hormat bendera di atas tiang, tapi lebih dari itu," tegasnya penuh semangat.Â
Nah, saya sependapat dengan Guru CLC andalan yang tak mau disebut namanya itu. Sejauh ini, sejak SIKK dan CLC hadir di Sabah dan Sarawak, praktik "membangun negeri dari ruang-ruang kelas" itu masih terus berproses dan sudah berjalan dengan baik walau dengan keterbatasan yang ada. Terbukti dengan makin tertanamnya nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan dalam diri para Pelajar SIKK dan CLC, baik dari sisi pengetahuan, wawasan, sikap, maupun kepribadian mereka sehari-hari.
Tidak sedikit dari mereka yang ikut lomba dan menjadi juara dalam program-program tertentu di dalam negeri, atau mempromosikan kesenian dan kebudayaan Indonesia dalam berbagai aspeknya, baik kepada warga setempat di ladang, di pekan dan kota, ataupun di tempat-tempat ternama yang bersifat internasional. Termasuk untuk program diplomasi antar-negara dan budaya yang diselenggarakan oleh Perwakilan RI.