Ahad petang, di Bulan Ramadhan, beberapa tahun lalu. Saya berbuka puasa di Masjid Jamek Kampung Baru, Kuala Lumpur. Kebetulan waktu itu ada pengajian rutin yang diasuh oleh Ustadz Musa Fathullah Harun, seorang ahli agama sepuh kelahiran Betawi yang sudah puluhan tahun tinggal di Malaysia dan mengajar ngaji di sana --termasuk, salah satunya, di masjid bersejarah di kawasan orang Melayu itu.
Lima menit menjelang Magrib, Ustadz Musa --begitu panggilan akrabnya-- menutup pengajian dengan doa. Setelah itu, sebagian besar jamaah segera menyerbu tempat makanan berbuka puasa yang sudah disediakan pengurus masjid.
Tapi ustadz yang sederhana itu masih tetap di tempatnya. Saya menemuinya untuk bertegur-sapa, setelah lama kami tak jumpa.
Tiba-tiba, seorang pemuda berbaju gamis putih menghampiri kami seraya menunjuk ke arah sebuah buku yang dipegang Ustadz Musa. Rupanya ia begitu tertarik dengan materi pengajian yang baru saja disampaikan, termasuk buku yang dijadikan sebagai rujukan.
Dengan antusias, pemuda itu segera berkata, "Ustadz, saya merasa senang mendengar uraian Ustadz. Saya juga berminat dengan buku yang Ustadz pakai sebagai referensi dalam mengajar tadi."
Sambil membuka-buka buku itu, Ustadz Musa menjawab, "Iya, ini buku saya...."
"Saya berminat memilikinya. Di mana saya boleh membelinya? Siapa pengarangnya?" tanya pemuda itu lagi lebih bersemangat.
Ustadz Musa terdiam. Sambil menatap sang pemuda, lelaki berjenggot putih itu menjawab, "Ini buku karangan saya...."
Kontan si pemuda agak tergugup. "Oh, maaf, saya tidak tahu, Ustadz. Tapi, di mana saya bisa membelinya? Saya benar-benar berminat memilikinya. Kalau boleh, buku ini saya beli sekarang juga. Saya datang dari jauh, dari Ipoh (sekitar 200-an km dari Kuala Lumpur). Berapa harganya, Ustadz?"
Lagi-lagi, Ustadz Musa terdiam. Kali ini agak lama. Terlihat tangannya kembali membuka-buka halaman buku itu. Terkesan, dia tak rela menjualnya. Apalagi minggu depan dan seterusnya, buku itu masih akan digunakannya untuk pengajian yang sama, di tempat yang sama.
Tapi kesan saya ternyata salah. Tiba-tiba saja, seraya tersenyum, dia berujar, "Adik dari Ipoh, ya. Ya sudah, bayar saja RM 10."
Dengan perasaan gembira seraya berterima kasih, pemuda itu langsung memberikan selembar uang sepuluh ringgit kepada Ustadz Musa. "Saya terima...," sambung Ustadz Musa sambil menerimanya.
Sebelum buku berpindah tangan, Ustadz Musa sempat menuliskan sesuatu di halaman pertama buku. Ternyata bukan tanda tangan, tapi nomor HP beliau!
Pesan terakhirnya kepada si pemuda, "Kalau ada pertanyaan atau masalah apa pun mengenai (isi) buku ini, atau tentang masalah agama, silakan hubungi saya...."
Bersamaan dengan itu, terdengarlah suara azan. Lalu kami berbuka puasa bersama.
Tapi, sambil menyantap Bubur Lambuk khas Masjid Kampung Baru, pikiran saya masih melayang di seputar peristiwa jual-beli buku itu. Jujur saja: saya benar-benar terkesima dan tersentuh. Ada dua pelajaran berharga yang dapat dipetik darinya.
Pertama, tidak seperti penulis-penulis buku lain, Ustadz Musa tidak komersil. Sudah sepuluh buku (agama) yang ditulisnya (diterbitkan di Malaysia dan Indonesia). Untuk buku baru setebal 150-an halaman itu, di Malaysia biasanya dijual RM 15-20.
Tapi itu, kan buku karya Ustadz Musa sendiri. Lagi pula, si pemuda masih bisa membelinya di tempat lain. Jadi, saya menilai, Ustadz Musa itu sangat murah hati. Hal terpenting baginya: bagaimana ilmu yang dituangkan dalam bukunya itu dapat segera "dinikmati" pembacanya.
Kedua, tidak seperti "ustadz-ustadz" lain, Ustadz Musa bukan tergolong ustadz yang asal bicara saja --apalagi, maaf, terlalu banyak melawak-- dalam memberikan materi pengajiannya. Peraih gelar Doktor Bidang Syari`ah dari Universitas Al-Azhar, Cairo (1977) itu sangat bertanggung jawab terhadap apa yang diajarkannya.
Karena itulah, dalam setiap kesempatan mengajar, baik di kampus-kampus (sebelum pensiun) maupun di masjid-masjid di sekitar Selangor, ia selalu mempersiapkan materinya dan membawa buku-buku rujukannya --termasuk karangannya sendiri. Kalau ada muridnya yang kurang paham, ia tak pernah jemu menerangkannya.Â
Begitulah secuil kisah seorang keturunan anak Indonesia di Malaysia. Rumah sederhananya di Sungai Buloh, Selangor, penuh dengan kitab dan buku agama. Sepulang dari Mesir, ia ikut membantu ayahnya merantau sebagai guru agama di Malaysia. Tidak siang atau malam, selalu setia dan tak pernah lelah membimbing jamaah pengajian: di masjid, surau, madrasah, atau radio dan televisi setempat. Pernah juga bertugas di Pusat Islam, Jawi dan menjadi dosen di Universiti Teknologi Malaysia (UTM).
Belum lama ini, saya mendapat kabar dari anak sulung Ustadz Musa, Syafi`i, bahwa ayahnya kini dalam keadaan sakit stroke. Uminya malah sudah wafat pada 2023 karena sakit. "Mohon doa ya dari semua jamaah untuk kesembuhan ayah kami," katanya.
Ahad malam itu, saat mau pulang, saya sempat bertanya siapa yang mengantar Ustadz Musa. Sambil tersenyum khas, kakek tujuh cucu itu menjawab pendek dengan logat Betawinya yang tak pernah hilang: "Ah, Ente, jangan gitu dong. Ane masih bisa nyetir mobil ane sendiri ...."
Kini, Ustadz Musa memang belum bisa lagi nyetir mobil untuk keliling berdakwah di Selangor. Dan untuk itu, di bulan suci ini, mari kita sejenak mengirim doa dan surah al-fatihah demi kesembuhan beliau. Al-Fatihah....
KB, 22092008/KK, 15032024
Nasrullah Ali Fauzi, penulis lepas dan editor salah satu karya Ustadz Musa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H