Mohon tunggu...
Nasruddin Leu Ata
Nasruddin Leu Ata Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran Berbakat

Menulis apa saja yang jauh lebih matang dari kesepian

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Bayang-Bayang Krisis Kepercayaan

21 Agustus 2024   20:35 Diperbarui: 21 Agustus 2024   20:48 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reaksi masyarakat yang negatif terhadap pelbagai produk kebijakan di masa transisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke pemerintahan presiden terpilih, Prabowo Subianto, telah menambah daftar kegagalan pemerintahan dalam menggalang kepercayaan publik.

Kebijakan pemerintah itu semisal, kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) hingga tabungan perumahan rakyat (Tapera). Pun ada produk legislasi yang penuh kontroversi seperti revisi Undang-undang TNI/Polri, revisi UU Kementerian Negara, revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK), revisi UU Penyiaran kemudian soal putusan Mahkamah Agung (MA) mengubah penghitungan batas usia calon kepala daerah.

Menariknya, berbagai kebijakan dan usulan program tersebut dilakukan di masa transisi. Alih-alih menyelesaikan program pemerintahan yang berjalan dan mempersiapkan secara baik, transisi pemerintahan berikutnya. Produk kebijakan tersebut justru menimbulkan reaksi kontra yang memanas dari masyarakat.

Fenomena ini membuktikan bahwa legitimasi politik yang dimiliki seorang pemimpin atau partai politik tidak menjamin kebijakannya mendapat dukungan yang setara dari masyarakat atau bahkan dari pemilih yang mendukungnya.

Setelah proses demokrasi selesai, pemenang persaingan mendapat legitimasi kekuasaan secara konstitusional, namun proses demokrasi tidak berhenti sampai di situ ada tahapan lain yaitu transformasi kekuasaan, di mana kepemilikan kekuasaan akan dikembalikan kepada masyarakat sebagai pribadi. Transformasi kedaulatan sendiri terjadi dalam bentuk pelayanan publik, pembangunan fasilitas umum, produk regulasi, dan kebijakan publik.

Pemilu 2024 telah dilaksanakan dan telah ditentukan pemenangnya baik untuk jabatan presiden dan wakil presiden, serta anggota dewan yang berhak duduk di kursi parlemen. Melalui proses pemilu, pemegang kekuasaan memperoleh legitimasi konstitusional dengan kewenangan menjalankan fungsi organ kekuasaan negara dalam sistem negara demokratis.

Pertanyaannya adalah, begitu mereka yang berkuasa diberi legitimasi, apakah mereka selalu bisa mendapatkan kepercayaan rakyat? Apa perbedaan antara legitimasi dan kepercayaan pada negara demokrasi? Apa yang menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap otoritas yang sudah mempunyai legitimasi? Apa risikonya jika penguasa sah tapi tidak dipercaya?

Pada poinnya ada perbedaan antara legitimasi dan kepercayaan. Dalam konteks politik, legitimasi mengacu pada pengakuan hukum oleh mayoritas penduduk bahwa para pemimpin atau wakil rakyat memegang mandat kekuasaan yang diberikan kepada mereka melalui pemilu. Sebaliknya, kepercayaan berarti memberikan rasa kredibilitas kepada para pemimpin terpilih dan wakil rakyat, termasuk karakter, kinerja, dan pencapaian mereka dalam mentransformasikan kekuasaan.

Jika legitimasi adalah mengenai proses konstitusional dalam memperoleh kekuasaan, maka kepercayaan adalah tentang mengevaluasi kualitas kinerja dan karena itu mempunyai dimensi moral. Pemberian kepercayaan lebih dinamis dan kompleks karena berkaitan dengan moralitas. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam beberapa hal disebabkan oleh faktor-faktor berikut:

Pertama, mutu proses seleksi bersifat transaksional dan hanya menyangkut masalah prosedural. Proses pemilihan seperti ini tidak memungkinkan pemimpin dipilih berdasarkan kualifikasinya, namun justru menciptakan pemimpin yang lebih bergantung pada modal finansial yang kuat.

Demikian pula, pemilih hanya tertarik untuk mengakses manfaat nyata dalam bentuk uang dalam jumlah besar sebagai imbalan atas hak memilih. Dalam pola hubungan bisnis seperti ini, para pihak sebenarnya tidak memiliki dasar moral untuk membangun kepercayaan selain sekadar bertukar barang.

Kedua, para pemimpin dan anggota dewan kota terpilih gagal mewakili mandat kedaulatan rakyat. Alih-alih melindungi kepentingan publik, mereka yang berkuasa justru mewakili kepentingan mereka sendiri atau kepentingan kelompok sempit.

Fokus pada kepentingan ego sendiri membuat masyarakat tidak lagi percaya atau setidaknya meragukan produk politiknya.

Ketiga, keterbatasan kapasitas sebagai pejabat publik. Faktor ini merupakan konsekuensi logis dari demokrasi transaksional dan prosedural sebagaimana dijelaskan poin di atas. Selain itu, pengabaian kualifikasi kompetensi dan keterampilan dalam pemilihan manajer menyebabkan menurunnya kualitas produk kebijakan publik dan rendahnya kepercayaan masyarakat.

Bagaimana mereka bisa menghasilkan produk yang berkualitas jika ada keraguan terhadap integritas dan kinerja pabrikan itu sendiri? Oleh karena itu, wajar jika masyarakat tidak lagi percaya.

Keempat, kualitas kebijakan publik tidak dipertimbangkan secara matang. Ketika faktor pertama hingga ketiga ditambahkan, kualitas produk menurun. Kebijakan publik seringkali tidak melalui proses pengkajian yang baik dan menyeluruh.

Meskipun prosedur formal sudah ada mulai dari proposal hingga diskusi, pengambilan keputusan, dan pertukaran, prosedur tersebut pada dasarnya lemah. Kelemahan ini menyebabkan penerapannya seringkali tidak praktis, kontraproduktif, memberatkan masyarakat, dan tidak adil.

Keempat faktor ini menghalangi kebijakan publik pemerintah yang beralasan politik untuk mendapatkan kepercayaan publik. Mungkin rencana program pemerintahan belum tentu buruk, namun jika kebijakan publik sejak awal tidak mendapat kepercayaan masyarakat, maka tidak hanya akan mengundang kontroversi dan agitasi, namun juga kurang efektif dalam implementasinya.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Pertanyaan semacam ini menjadi pekerjaan awal pemerintahan berikutnya, bahwa kepercayaan adalah keadaan psikologis masyarakat di mana banyak masyarakat yang masih rentan karena ekspektasi positif terhadap niat dan tindakan dari kekuasaan.

Maksudnya, masyarakat meyakini bahwa pemerintah akan selalu berupaya untuk menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya. Kehilangan kepercayaan terjadi apabila ekspektasi positif tidak sesuai dengan kenyataan dan hal itu dapat mengundang krisis.

Hilangnya kepercayaan publik merupakan persoalan kehilangan etika, seperti kebohongan, ketidakjujuran, dan kecurangan. Ketika kita mencari solusi untuk dilema etika ini, maka hendak berfokus pada satu target yang bersifat button line, dan jenis kepemimpinan yang tepat.

Alasan terbaik untuk mengejar keunggulan menumbuhkan kembali kepercayaan dengan cara berbuat lebih baik bagi konstituen dan menciptakan kesempatan lebih banyak kepada generasi baru.

Persis di situ, tindakan awal adalah memulihkan kembali kepercayaan masyarakat. Kendati diperlukan upaya yang sistematis dan berskala besar. Pemulihan akan optimal apabila pendekatan yang digunakan sesuai kondisi yang dialami.

Tentu saja bukan pekerjaan yang muda, kendati hanya melalui itu kita tidak kehilangan momentum untuk menjadi Indonesia Emas di tahun 2045 mendatang hanya karena rendahnya kepercayaan masyarakat, baik secara kemanusiaan maupun kelembagaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun