Sebelum membaca tulisan ini diharapakan untuk tidak terlalu serius, agar tidak mengecewakan! Â Lagipula ini tulisan yang tidak begitu serius, kendati akhir-akhir ini segala hal selalu ditanggapi dengan serius. Â Â Â
Jadi, ada sebuah ungkapan sederhana yang kebenarannya dipercaya di banyak sudut warung kopi. "Kamu akan merasakan kecewa sebanyak kamu mengecewakan orang lain".
Di lingkungan yang agak puitis mereka menulis seperti ini, "karena Tuhan adil menciptakan luka". Walaupun saya kurang mengerti kenapa Tuhan dibawa-bawa dalam urusan ini.
Di lingkunganku sendiri, ungkapan itu lebih sering diungkapkan dalam kalimat, "karma is fuc#ing real!!". Terserah kalimat yang mana yang cocok untuk hidupmu. Suka-suka saja.
Lalu darimana datangnya kecewa? Secara ungkapan di atas, itu karena perbuatan buruk kita sendiri. Tapi perbuatan buruk yang mana? Nah, itu problem anda pribadi. Hehehe
Secara teori (sudah, percaya saja), kecewa merupakan paduan utuh dari ketidaksesuaian antara ekspektasi (harapan bahasa kekiniannya) dengan realita.Â
Semakin besar bentuk ketidaksesuaian, semakin besar pula kecewanya. Lalu apa persoalannya dengan orang lain di titik ini? Harapan kan urusan individu?
Tidak sepenuhnya salah memang. Banyak bentuk harapan yang kaitannya murni individual. Cita- cita misalnya, murni urusan personal.Â
Gagal tidaknya dirimu hanya dirimu yang tahu. Orang lain di posisi ini hanya sebagai perbandingan atau inspirasi. Toh yang ngerasain kamu sendiri. Paling benter ya dinyinyirin.
Problem kekecewaan dengan orang lain terletak pada sejauh mana harapan mu berkaitan dengan orang tersebut. Terserah kamu yang memberikan atau diberikan harapan. Dalam pergaulan manusia, proses serah terima harapan itu disebut dengan istilah janji.
Problem janji terbesar, yakni didasarkan pada satu ikatan rapuh tanpa dasar yang jelas, yaitu kepercayaan. Padahal, kepercayaan juga merupakan bentuk lain dari harapan.
Dengan kata lain, harapan adalah sesuatu yang dibentuk oleh harapan yang lain. Bertumpuk sampai tidak jelas akar muasalnya dari mana.Â
Saking banyaknya tumpukan tersebut, semua terlihat lumrah. Dan tentu saja semua hal itu jika dipikirkan hanyalah rangkaian omong kosong.
Bagaimana jika sejak awal, yang kamu harapkan memang tidak pernah ada? Bukankah 3/4 harapan hanyalah rekayasa fiktif dalam pikiranku sendiri? Omong kosong bukan? Hahaha
Lalu apakah manusia bisa hidup tanpa omong kosong tersebut? Tentu saja tidak. Untuk bahagia, progress hidup, tujuan ideal nya, manusia butuh omong kosong itu.
Tapi siapa yang akan menegur orang lain kalau hidupnya hanya bergantung pada sesuatu yang sangat tidak jelas dan tidak bisa dipastikan kebenarannya seperti itu?
Semua orang besar yang tercatat dalam sejarah adalah orang yang paling ahli menebarkan harapan. Perbedaannya antara mereka dan dirimu hanyalah skala realisasinya saja. Makanya mereka tercatat dan kamu tidak.
Balik ke teks awal, bagaimana kecewa mu itu lahir? Apa urusan orang lain di dalamnya?
Kekecewaan lahir dari tingginya kebodohanmu karena percaya pada hal yang tidak pasti seperti itu. Urusan orang lain, saya mengutip Jean-Paul Sarte saja, sejak awal "orang lain adalah neraka". Dalam logika yang berurutan, kamu mempercayakan suatu kebodohan (omong kosong) kepada sesuatu yang sama mencelakakan mu juga.
Agamawan dari abad pertengahan dulu berkata,"aku sering kecewa, tapi tidak ada sesuatu yang lebih mengecewakan ku selain berharap kepada manusia (Ali bin Abi thalib)".
Dari pengalaman tersebut, para pemikir modern mencoba meminimalisir harapan dengan mengobjektifikasin segala sesuatu. Mereka menciptakan segala macam rumus dan rasionalisasi.
Tapi jujur ya, kalau saya sih itu hanya menjadikan mu sejenis mesin baru tanpa apapun yang tersisa di dalamnya. Tanpa kreasi fiktif yang omong kosong tadi, emosimu akan kering. Dan manusia yang kekeringan emosi, hanyalah seonggok tulang dibalut kantung air merah. Weber pernah berkata, "manusia adalah mahluk rasional, tapi secara tindakan, ia adalah mahluk emosional".
Jadi adakah jalan keluar dari kecewa? Jawabannya ya tidak ada. Hehehe
Yups, kamu cuma bisa mengecilkan kemungkinannya saja, tapi tidak akan pernah bisa lari secara utuh darinya. Ahli pikir dan ahli zikir zaman dulu saja sampai mewajibkan konseb uzlah (pengasingan diri). Toh pada akhirnya juga kita butuh rasa kecewa.
Jadi kalo belum sanggup uzlah, ya nikmati sajalah kecewamu itu. Entah dengan segelas kopi, susu, atau apapun yang membuat dirimu tenang. Nulis omong kosong sepanjang ini misalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H