Problem janji terbesar, yakni didasarkan pada satu ikatan rapuh tanpa dasar yang jelas, yaitu kepercayaan. Padahal, kepercayaan juga merupakan bentuk lain dari harapan.
Dengan kata lain, harapan adalah sesuatu yang dibentuk oleh harapan yang lain. Bertumpuk sampai tidak jelas akar muasalnya dari mana.Â
Saking banyaknya tumpukan tersebut, semua terlihat lumrah. Dan tentu saja semua hal itu jika dipikirkan hanyalah rangkaian omong kosong.
Bagaimana jika sejak awal, yang kamu harapkan memang tidak pernah ada? Bukankah 3/4 harapan hanyalah rekayasa fiktif dalam pikiranku sendiri? Omong kosong bukan? Hahaha
Lalu apakah manusia bisa hidup tanpa omong kosong tersebut? Tentu saja tidak. Untuk bahagia, progress hidup, tujuan ideal nya, manusia butuh omong kosong itu.
Tapi siapa yang akan menegur orang lain kalau hidupnya hanya bergantung pada sesuatu yang sangat tidak jelas dan tidak bisa dipastikan kebenarannya seperti itu?
Semua orang besar yang tercatat dalam sejarah adalah orang yang paling ahli menebarkan harapan. Perbedaannya antara mereka dan dirimu hanyalah skala realisasinya saja. Makanya mereka tercatat dan kamu tidak.
Balik ke teks awal, bagaimana kecewa mu itu lahir? Apa urusan orang lain di dalamnya?
Kekecewaan lahir dari tingginya kebodohanmu karena percaya pada hal yang tidak pasti seperti itu. Urusan orang lain, saya mengutip Jean-Paul Sarte saja, sejak awal "orang lain adalah neraka". Dalam logika yang berurutan, kamu mempercayakan suatu kebodohan (omong kosong) kepada sesuatu yang sama mencelakakan mu juga.
Agamawan dari abad pertengahan dulu berkata,"aku sering kecewa, tapi tidak ada sesuatu yang lebih mengecewakan ku selain berharap kepada manusia (Ali bin Abi thalib)".
Dari pengalaman tersebut, para pemikir modern mencoba meminimalisir harapan dengan mengobjektifikasin segala sesuatu. Mereka menciptakan segala macam rumus dan rasionalisasi.