Mohon tunggu...
Dewi Anggar
Dewi Anggar Mohon Tunggu... -

Aku terhenyak, Senyuman membias makna, melambung harapan, mengikis mimpi lalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Denting Gadis

16 Mei 2016   08:47 Diperbarui: 16 Mei 2016   08:50 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis tidak lagi takut pada hujan. Rerintik yang menderas menyisakan khidmat di langit malam. Roknya layu terkena air. Basah dan kotor.  Sepatu hak tingginya turut basah dalam genangan. Membuat lembab di bagian kaki. Dingin menyisir tubuh, angin meniupkan ruh malam.

Masih di malam yang sama, Gadis berjalan tenang dalam hujan. Menikmati setiap guyurannya dan melantunkan nyanyian bisu. Gadis berjingkrak menuju rumah, menuju bilik yang selalu menawarkan kenyamanan dan kehangatan.  Tidak  mewah memang, hanya sebuah ruang sempit berantakan tapi cukup lowong untuk sekedar merebahkan tubuh. Dan Gadis menyukai itu. Baunya menerbitkan rindu.

~0`0~

Gadis selalu sendirian. Bukan karena dia tidak berkawan, tidak sama sekali. Kawan Gadis terlalu banyak, hingga sulit baginya menemukan satu yang bisa memahami dirinya.  Yang bisa membaca gerak lakunya. Yang bisa membaca binar matanya. Aneh bukan? Inilah realita. Terlalu sulit menemukan jarum dalam jerami.

Gadis menarik napas panjang, menekur dalam diam. Berdiri menatap rak-rak buku kepunyaannya, juga file-file diarinya. Ada mimpi dan kisah yang terpaut disana. Mimpi, impian, dan cerita. Gadis, jelita yang manis, bergulat dalam kalut pikiran tentang mimpi dan impian.

Suatu sore kala gerimis masih menyetubuhi bumi dan beburung masih bertengger di dahan yang basah, Gadis keluar dari biliknya, menembus tirai berair, lalu menengadahkan wajah, menikmati hujaman air yang kontan  melumerkan bedaknya. Luntur, habis, hingga tandas. Kilas mimpi kembali berderet dalam ingatannya. Timbul tenggelam menyisakan sesak yang juga sembunyi-sembunyi menikam hati.

Seperti di hari ini dan di hari-hari lain kala hujan memeluk bumi, Gadis larut dalam hening dengan hati yang campur aduk. Runtuhan ingatan dan kenangan meluruh begitu saja. Kenangan tentang kisah, tentang cerita, tentang dogma, dan tentang janji, menggumpal lalu memadat, membebani hingga berat dan penat. Gadis tetap tenang menelusuri sore yang beralih malam dan pesona gerimis. Biarlah pikiran berkalutan. Biarlah lembayung tertutup mendung. Lalu hati yang sibuk mendendangkan lagu sedih tak kepalang.

Gadis memilih maju  dalam renung. Juga dalam menung. Gadis manis yang malam ini kuyup karena hujan jatuh untuk mencintainya.

~0`0~

Sepi itu apa?

Nyanyian rindu dalam musim kesunyian dan senyap?

Bilakah denting kaca sanggup memecah hening dalam seteguk rindu?

Gadis kembali merenung. Memeluk sepi dalam malam dan hujan.

~0`0~

Mengalun lagu sendu dari kamar berukuran kecil milik Gadis. Lagu lembut dengan intonasi mendayu, kadang tersayat angin, mengumbar rindu, memutar ingatan, menerobos ruang waktu. Belakangan Gadis  tumbuh semakin sensitif. Rayap yang mengalur di kayu plafonnya, membuatnya risih. Pun hal-hal kecil bisa membuatnya mengadu pada Tuhan hingga sesenggukan.

Gadis belajar banyak hal hingga bisa sampai ke titik ini. Titik di mana Gadis menyadari bahwa teman hanyalah ilusi tumpahan aduan. Nyatanya teman tidak selalu ada dan benar-benar ada kala resah memeluk batin. Gadis acap kali memegang ponsel, meenelusuri kontaknya dan tidak menemukan satu orangpun untuk sekedar membagi bebannya. Belum, Gadis masih berkelana.

Pada sebuah fase  dimana peristiwa mengguncangkan kedirian Gadis, takkala dunia dan cinta yang dia pegang berpaling dan menusuknya hingga berdarah dan  hilang akal, Gadis kemudian menginsafi, bahwa Tuhan adalah muara dari seluruh gelisah.

Tangan-tangan Tuhan senantia menjulur dan menghamburkan isyarat cinta kepadanya. Menuntunnya pada waras, sajadah, dan ikhlas. 

Gadis insyaf seinsyaf-insyafnya, tentang kelu dan kesah yang hanya boleh diadukan kepada-Nya. Tentang pilar sandaran yang kokoh dan pijak serta kening yang menyatu dengan tanah. Dialah  Sosok sempurna yang pendengarannya meluas samudra, hingga tak peduli betapa banyakpun keluhan dan aduan yang disampaikan, Sang Maha Mendengar tidak akan pernah marah. Benar begitu kan?

Tuhan Maha Baik. Gadis tahu itu. Karena itu, dia tidak akan berhenti mengadu pada-Nya. Tentang risau di penghujung hari, tentang ingatan dan  janji, atau mungkin tentang batu yang menyandung kakinya saat berjalan ke kantor pagi ini. Gadis ramai mengobrol dengan Tuhannya. Setiap hari, setiap hari, dalam helaan napas, lailaha illallah.  

~0`0~

Lorong waktu menggerus ingatan dalam memori tentang mereka. Kala waktu, Gadis, dan dia berpacu dalam lalu lintas kota metropolitan. Hedonisme anak muda. Langgar norma, langgar batas, hingga kaki tak berpijak pada yang baligh.

Gadis pernah hidup dalam hingar-bingar dunia yang membutakan mata. Menerobos malam dan berangkulan hingga pagi dalam satu gelaran tikar di bawah cahaya bulan. Bermesraan, menantang dunia, membangkang pada adat-istiadat. Gadis berciuman di lorong kampus, membiarkan diri dibuai nafsu hingga menelanjangi diri atas nama cinta. Gadis pernah melakukannya. Menikmati helaan demi helaan dan beralih pada angan masa depan.

Gadis bukanlah pelacur kampus yang menjajakan diri. Juga bukan biarawati yang sibuk mengurus gereja ataupun perempuan alim bergamis dan bercadar yang menundukkan pandangan pada yang bukan muhrimnya. Gadis bukanlah gadis tanpa dosa sesuci Maryam, ibunda Nabi Isa. Gadis hanyalah metamorfosis perempuan malam yang terkena damprat Tuhan dan kini menderita kekosongan dalam hening dan sepi.

Gadis mematut diri di depan cermin. Bola matanya bulat. Wajah pucat dan bibir yang ikut-ikutan memucat. Gadis menyisir rambutnya perlahan. Diingatnya masa ketika dia berlari di tepian sungai mengejar ujian kelulusan. Semangat yang menggebu tak kepalang. Manis sekali. Senyum tergurat memantul di cermin.  Gadis tetaplah gadis yang manis. Kini berteman malam dan hening. Tidak  lagi menyatu dalam sorak-sorai riuh tempat karoke, Gadis memilih menepi diam-diam, dalam senyap, tanpa suara.

~0`0~

Seandainya yang kosong itu bisa segera terisi usai satu pintalan doa, mungkin saja Gadis akan segera menyudahi doanya.  Bukankah salah satu tanda cinta Tuhan adalah mengizinkanmu berdoa meminta apa saja yang kau inginkan secara berulang-ulang?

Kenapa tak segera dikabulkan jika doa itu sudah berulang kali terlontarkan?

Mungkin Tuhan masih merindukanmu. Masih rindu melihatmu bersedekap di atas sajadahmu. Rindu melihat bibir dan hatimu mengucap nama-Nya. Bertasbih memuji diri-Nya. Rindu kau yang tak luput dari perasaan tentang mati dan takut dosa.

Gadis kini melebarkan jilbabnya. Kepak sayapnya dipastikan akan melebar. Gadis akan mengakhiri metamorfosisnya, menjadi kupu-kupu yang layak untuk terbang dan patut menjadi sorot keindahan. Matanya sebening telaga meskipun bengkak usai menangis.

Gadis banyak berpikir belakangan ini. Tentang karma dan hukuman dari Tuhan atas lalainya di masa yang lalu. Gadis sadar sepenuhnya, cinta yang salah telah membutakan hati. Seperti papan arah jalan yang mengarah pada tebing tinggi dengan panorama eksotis, menawarkan lubang besar menganga yang siap menerkam hingga mampus.

Bayangan seorang pria yang tanpa basa-basi mencumbui perempuan lain di depannya cukup membuat lututnya bergetar. Mata Gadis memerah, semangat menguap dari dalam dirinya. Inikah akhir dari sebuah kisah. Bisa jadi ini adalah hadiah atas khilaf yang berkepanjangan. Rusak jiwa dan raga. Pikiran hampir gila dan tangis berontak menikam hati. Ini karma. Inikah cara Tuhan memanggilmu untuk kembali menggelar sajadah? Untuk kembali bersetia pada alasan kenapa manusia diciptakan?

Teringat cibiran tentang dirinya yang dengan rela membiarkan tubuhnya dicumbui hingga tandas, juga senyum picik, bualan dan keprihatinan yang ditumpahkan padanya  setelah cintanya membuangnya hingga terhempas dan luka, Gadis menekuri diri dan semakin larut dalam penyesalan. Bukan karena pria itu mengkhianatinya, tidak sama sekali. Juga bukan karena kelakukannya, bukan itu.

Gadis menginsafi diri betapa dunia berubah berpaling darinya setelah dia menjadi sampah.  Tidak ada tempat mengadu lagi baginya sekarang. Orang-orang sudah muak pada ceritanya. Gadis bingung menatap hari. Baginya jalan menjadi buntu dan hitam.

Saat hujan turun di tengah malam, Gadis terjaga dan ingatan tentang kenangan kembali mengelupas luka. Gadis ketakutan dalam sepi yang menyayat. Gadis kenyang dicibir. Gadis puas digurati luka.  Gadis lupa Tuhan. Gadis menjadi sendiri tanpa doa. Gadis mematung sebatang kara hingga pada suatu petang,  lantunan ayat menjadi komando baru baginya. Pelan-pelan Gadis dirambati aliran cahaya. Gadis kini merangkak menuju altar surga.

~0`0~

 Lelaki yang baik untuk perempuan yang baik. Lelaki yang keji untuk perempuan yang keji.  Bukankah itu janji Tuhan?

Gadis terpekur mendengar rinai hujan yang semakin menderas. Tiga tahun berlalu. Dalam metamorfosisnya yang cantik, Gadis menanti janji Tuhan setiap hari dan setiap hari. Gadis menulis sajak tentang doa dan cinta. Tentang penantian dan sepi. Juga tentang khianat dan karma setelahnya. Gadis menjadi kupu-kupu yang cantik dengan sayap setengah terbuka. Gadis menjadi kupu-kupu yang sibuk berjalan tertatih, meski belum terlatih untuk terbang.

Di malam-malam saat sepi benar-benar menghunuskan sedihnya menjadi sendirian, Gadis menggamit bantal dan merenungi luka lama. Menambal setiap kenangan dan bergerak semakin menjauh dari tempat berpijaknya dulu kala.  

Gadis tetap menyulam diri menjadi kupu-kupu yang memesona. Diam-diam mengembangkan sayap. Diam-diam menggoreskan warna. Gadis menunggu Tuhan menyempurnakan sayapnya hingga menjadi pantas untuk diterbangkan.

Pelan-pelan tapi pasti, Gadis percaya, Tuhan tengah menyiapkan penyempurna sayap untuknya.  Biarlah sepi menelannya dalam malam, juga dalam hujan yang membuat cicak diam membisu. Gadis percaya,dalam guliran waktu, penyempurna sayap akan datang melengkapinya. Dan saat mereka terbang beriringan, itulah pertanda Tuhan telah menepati satu janji dalam satu babak kehidupan.

Gadis menarik senyum. Malam bergulir menuju pagi. Hujan sudah berhenti. Rapalan doa menunggu fajar, Gadis berjingkat menuju tempat wudhu. Biarlah dia kembali bersedekap. Hingga untaian doa yang tak kunjung pupus agar doa terijabah. Kelak atau nanti, Gadis akan merekahkan sayap. Lalu terbang, tinggi dan meninggi, hingga bidadari mengiri padanya. Gadis menunggu kesempurnaan metamorfosisnya. Menjadi kupu-kupu yang sempurnya sayapnya. Lalu terbang dan tidak kembali lagi.

~0`0~

Minggu,15.05.2016/22.31

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun