Magrib selalu datang di waktu tepat,
Ilalang jua berhenti bermain dengan angin,
Tetumbuhan rotan-rotan hutan pun khusyuk melingkar dengan bacaan tasbihnya,
Mereka menyerahkan diri seutuhnya, utuh-utuh, lebih dari sekedar sesembahan rerumputan.
Magrib ini, kapan-kapan tak berjeda,
Bapak-bapak di kebun, tau ini masanya beristirahat lalu pakai payama, songko dan kain, ikuti irama bedug tujuh belas kali,
Pamali kalau melawan, jangan Magriban kalau mau masuk Surga katanya.
Magrib itu bila-bila tiba, ketika tubuh  memeras keringat, memetik kekantukan,
Mama selalu bilang," bunuhlah ia dengan asap  dapur, bakar apinya menyala-nyala, tiuplah dengan teropong kuat-kuat, biarkan lidah apinya menjilat-jilat hingga tubuh berlari dari bersakit-sakitnya, kantuk cuman satu, tiga kalinya usap wajah lalu sujud tiga kali pun, dengan doa-doa salamat, agar mati tak bawa perkara-perkara dosa.
Esai Magrib tak pernah usai oleh rindu orang-orang Sufi,
ia terus menjadi embun-embun senja,
Penimbun jiwa yang sakit berserakan,
dari keserakahan nafsu indera, semasa nafas berada.
Bertemu Magrib diujung lorong matahari turun,
Jangan hendak kau melawan,
Masukilah pintu-pintunya, segala paru-parunya juga,
didalamnya, engkau akan menemukan rupa-rupa Malaikat pembawa Minyak Kasturi.
Berlarilah ke arahnya, hitung berapa langkah, Magrib hanya datang satu kali. Bagaikan berkah syuruk di antara Subuh dan Dhuha.
Magriban, tidak boleh engkau melawan dengan parang apalagi belati. Â
Karena, Magrib punya Tuhan Maha Pengampun.
Ambon, 6 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H