Desember hampir tutup usia. Begitu banyak kenangan baik yang terjadi di Desember. Bila Sapardi Djoko Damono ilustrasikan Hujan di Bulan Juni. Disini juga aku katakan "Bulan Di Bulan Desember".
Ceritanya dimulai dari hampir semua kampus yang berdiri di Ambon melaksanakan wisudaan yang berbarengan di akhir bulan masehi ini.
Wisuda digelar pertama oleh Universitas Darussalam Ambon, kemudian  Universitas Pattimura Ambon,  IAIN Ambon disusul STIKES Pasapua Maluku. Jika dikalkulasikan tiap-tiap kampus berjumlah 500 orang, akan terlahir bibit baru intelektual muda sebanyak 2.000 orang di tanah basudara. Pertanyaan mereka mau kemana setelah tali toga dipindahkan oleh rektor?
Ringkasan akhir studi para mahasiswa ini begitu disambut bahagia dan gegap gempita. Ramai-ramai pakaian baru laris manis di mall, diskon fashion make up laku tanpa sale. Saling kunjung, sapa ke rumah, makan patita, berbagi amplop dan  saling mendoakan. Cipaka-cipiki. Setelah itu tinggalkan pertanyaan, setelah ini kerja dimana atau?
Tak ayal bukan cuman khayal, berapa pun biaya untuk meriahkan kegiatan ini tidak dihitung-hitung. Sanak saudara dari kampung jauh-jauh untuk menghadiri acara empat tahun sekali ini.
Ini adalah perkawinan tradisi intelektual dan budaya masyarakat. Seperti pesta kawinan, segala musik diprogramkan pagar-pagar bambu dan atap sabuah didirikan untuk tamu. Malamnya pasti ada "joget" kecil-kecilan sambil diarahkan lirik goyang tobelo. Wah malam lebaran, paginya menggali kubur.
Mirip cerita ini, kasus unik pernah terjadi dalam menyambut kegiatan ini. Sebutlah nama mahasiswa X. Orang tuanya yang sudah usia senja datang dengan berbangga-bangga dari kampung ke tanah rantau anaknya guna menghadiri pesta wisuda anaknya.
Anaknya yang telah lama merantau menuntut ilmu, dan pulang dengan "medali" adalah kebahagiaan bagi setiap orang tua. Tak terkecuali orang tua anak X.
Waktu ditentukan pergilah orang tua si anak X. Walau uang yang dibawa tak sebanyak orang kota. Tetapi, nilai dan airmata kebahagiaan telah menjadi sebuah kebanggaan.
"Bahwa beta anak ternyata sukses. Beta seng sia-sia banting tulang di hutan. Biar hujan panas, asal beta anak senang. Biar bapa mama makan sagu salempeng patah dua, asal anak tidak susah," itulah bahasa batin orang tua.
Singkat saja, dengan menumpang kapal laut yang memakan waktu 24 jam, gelombang kuatnya tak menyurutkan emosi mereka untuk menyaksikan buah hatinya meraih cita-cita.