Mohon tunggu...
M. Nasir Pariusamahu
M. Nasir Pariusamahu Mohon Tunggu... Penulis - -

Saya Manusia Pembelajar. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfat untuk orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rifai, Si Tukang Tambal Ban

26 September 2017   07:55 Diperbarui: 26 September 2017   10:41 1387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rifai Sombalatu (Si Tukang Tambal Ban)

(Kisah Inspiratif ini ditulis untuk mereka yang kuat cinta cita-citanya. Bahwa sebenarnya tak ada malu dalam diri untuk melakukan hal-hal yang positif dalam kehidupan. Dan mau bergerak menuju bahtera kesuksesan. Bahwa kesuksesan hanya akan didapat dengan kesungguhan. Dan pembuktian itu juga dilakukan oleh lakon yang akan kuceritakan. Semoga sabda sejumput ini bisa sedetik memberikan "WOW" dalam hidup kita.)

Saat itu pukul 17.50 WIT. Aura Kota Ambon sangat padat oleh laju kendaraan yang berlalu lalang. Aku baru saja menyelesaikan hajatan lambung di salah satu rumah makan samping  Jl. Abdulalie. Santapan Ikan Bakar Lalapan Lema menidurkan lambung. Hari ini benar-benar rejeki perutku ditambah Allah SWT. Hamdallah.

Menuju Magrib di Mesjid Al Fatah Ambon, Revoku kuputar menuju pusat studi rohani umat Islam terbesar di Kota Multirasa ini. Tetiba berpapasan dengan sebuah mobil truk pengangkut barang, roda belakang menangis tak mau melaju; pecah ban.

Lalu dengan tergopoh-gopoh, gigi satu dua bergantian memapah Revo hitamku mencari tempat penambal ban. Sudah mau masuk malam, Ambon makin ramai saja. Dibeberapa pangkalan ojek, para pengojek masih saja menunggu giliran setoran penumpang. Disebelahnya banyak tukang Bakso menjaja makanannya kepada para pembeli.

Malu bertanya sesat dijalan. Salam," abang-abang ojek, tau ka seng tampa tempel ban? Oh disana ade nyong, dekat jembatan Amaci." Roda duaku sudah hampir tak berdaya. Tapi masih ada nafas.

Tepatnya di Jl. Dr. Latumenten. Lebarnya gangnya sekitar satu meter. Ada sebuah tempat penambal ban. "Bang, mau tambal ban ka?" Ya, " jawabku. "Kas maso saja abang pung motor ka dalam." Oke," jawabku sambil memakirkan motorku di arealnya.

Sekitar 10 menit waktu berselang. Anak muda itu melekuk-lekukkan kunci-kuncinya guna membuka alas bagian luar ban. Sebelumnya dia meletakkan besi untuk dipanaskan dulu di atas sebuah bara. Besi yang dipanaskan tersebut akan dipakai untuk mencas ban yang bocor dengan lapisan-lapisan lem karet serta kertas-kertas pengalasnya.

Kuperhatikan, etos kerjanya sangat cekatan. Terlatih. Seluruh prosedur cara menambal ban dilakukannya dengan sangat hati-hati dan tekun. Tampak raut wajahnya memperlihatkan bahwa ada sebuah kesan yang tidak boleh mengecewakan para orderannya. Itu yang kutangkap dalam senja yang sudah mulai tanpa bayangan.

Hujan sore itu tidak ada lagi. Sungai mulai semrawut kembali oleh tumpukan sampah yang dibuang sembarangan di dalamnya. Alangkah naifnya, berbuat demikian. Kapankah sungai-sungai ini akan kelihatan air biru warnanya lagi? Atau nanti akan di pakai untuk bercocok tanam?

Kembali ke penambal ban. Dia cukup serius. Bahkan hampir tak ada obrolan di sela-sela ketika sedang mengerjakan sulaman ban tersebut. Dengan nada setengah berisik, dia berkata," abang, ban pica tatusu paku. Ini abang lia!" Wah," gerutuku agak kesal dengan paku 5 centi itu.

"Abang nama sapa? "Beta nama Rifai."

"Darimana?" Pulau Buano.

Sedikit aku mulai tak ragu untuk mengajaknya ngobrol. Karena, kata kuncinya sudah ku dapat. Dari Buano. Kebetulan, teman-temanku banyak yang berasal dari Pulau Pemilik Tanjung Harapan (Selat Valentine) ini.

Aku mencoba mengingat nama teman-temanku, satu persatu kusebut dan dia sangat antusias menjawabnya. "Abang pernah ka Buano ka?" Ya. Beta pernah ka sana. Bahkan tidor disana su dua kali."

"Abang su kuliah?" Seng, beta masih SMA Kelas IX. Sekolah di SMA Muhammadiyah. Kalo abang ka beta skolah, tanya saja ketua kelas XII IPA, Rifai Sombalatu. Heheh ( senyumnya yang gratis)

Aku sangat terkejut. Jarang sekali anak seusia kayak gini memilih jenis pekerjaan seperti ini. Lanjut, aku bertanya dan dia menjawab dengan nada penuh semangat. "Abang beta su dua taong lebe karja bagini. Sebenarnya beta mau skolah di perkapalan. Beta pung cita-cita mengelilingi dunia. Tapi beta seng lulus, yah baginila, abang."

Lalu kenapa seng pulang?" Beta malu kaka. Beta kan su pamit dari kampung par mau skolah perkapalan. Nanti, kalo beta pulang lai ka sana, orang-orang kampung bilang beta katanya su pamit par skolah di kota, kanapa bale lai?" (nadanya agak sedih)

Tapi, ade pung cita-cita itu amboi mantap. Teruskan ade. "Iya, kaka." Maka itu, beta seng pulang ka kampung sebelum beta dapa beta pung impian". Beta mau keliling dunia dengan kapal, kaka." Amin," gumanku.

"Oh ya..kaka"."Ini su selesai."

"Barapa ade?"

"Sebenarnya lima belas ribu. Tapi par kaka, hanya spuluh ribu saja. Lalu, kuberikan selembar kertas bercap Negara Kesatuan Republik Indonesia senilai dua puluh ribu rupiah."

"Ade," seng usah kas kambali lai. Jang kas kecewa mama deng bapa. Kalo su sukses jang lupa orang di bawah ee."

"Sampe ketemu, assalamu 'alaikum."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun