Dipersimpangan lorong terdapat satu kios kecil milik "TL" yang menjadi "energi" bagi warga. TL cukup terkenal dipemukiman yang kami tempati. Balita yang masih belajar bicara juga mampu memanggil TL, apalagi orang dewasa. Kios TL menyediakan makanan ringan bagi anak-anak, dan beberapa kebutuhan rumah dan dapur seperti minyak, gula, garam, penyedap, kecap, dan yang tidak pernah kosong adalah rokok. TL cukup sabar dalam melayani pelanggan, khususnya dalam melayani anak -- anak, terkadang butuh 5 -- 10 menit melayani anak -- anak saat membeli satu permen. Uniknya lagi, kios TL juga melayani "paska bayar", tapi ngutangnya tidak boleh lama -- lama.
Jika siang hari, pemukiman kami sepi, karena warga sibuk dengan berbagai aktifitas. Beda halnya ketika malam hari, kami yang laki -- laki ngumpul bersama untuk mendiskusikan isu -- isu terkni. Setidaknya terdapat empat "pos" yang kerap kami jadikan tempat ngumpul. Misalnya, diteras rumah Mas Romi, teras rumah Heri, teras rumah bang Zal, dan juga teras rumah saya. Tidak ada kesepakatan khusus saat malam ngumpul dimana. Akan tetapi terjadi secara alami dua tiga orang pertama duduk di pos mana, selanjutnya teman -- teman yang lain merapat kesanan.
Teman obrolan sudah pasti kopi atau minuman bandrek. Pilihannya ada kopi "BG" atau kopi Sanusi. Sedangkan minuman Bandrek dibeli di Peunayong, tapi spesialis beli bandrek hanya ada sama bang Ilham.
Warga yang tinggal di lorong merparti juga terkadang disebut "orang belakang", maksudnya orang yang tinggal dibelakang. Biasa sebutan ini dipakai ketika ada kegiatan ditingkat gampong, maka keuchik/kepala desa meminta orang belakang untuk bergabung atau kebutuhan lainnya.
Kehidupan kami cukup harmonis, rukun, dan damai. Tentunya kondisi ini terjadi karena sesame warga memiliki tenggang rasa dan kepedulian yang cukup kuat. Ketika ada warga yang musibah, maka semua warga berkunjung atau membantu, begitu juga saat warga membuat acara khanduri maka kami melakukan gotongroyong dan saling bantu untuk menyukseskan acara tersebut.
Ketika malam minggu, biasanya kami membuat acara makan kecil -- kecilan, tergantung jumlah "obat" yang tersedia. Serendah-rendahnya kami masak mie atau hanya sebatas gorengan, yang penting cukup buat anak -- anak, kaum ibu, dan teman kopi buat kami.
Dalam obrolan penuh canda tawa, tidak ada yang tersakiti atau tersinggung, meskipun saling bully. Itulah cerita singkat kehidupan kami di lorong Merpati, Kelinci, dan Berkarya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H