Mohon tunggu...
M. Nasir
M. Nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Lingkungan Hidup

Hak Atas Lingkungan merupakan Hak Asasi Manusia. Tidak ada alasan pembenaran untuk merampas/menghilangkan/mengurangi hak tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merpati Disudut Kota

24 Januari 2024   12:50 Diperbarui: 24 Januari 2024   12:58 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keuchik Lampaseh Kota,Mardali, SE, bersama warga mengunjungi Pak Leo di RSU Harapan Bunda, Banda Aceh

Burung Merpati sering dijadikan sebagai lambang perdamaian, karena Merpati merupakan hewan yang lembut dan tidak suka menyerang hewan lainnya. Tidak hanya sebagai lambang perdamaian, Merpati juga dijadikan sebagai nama tempat, dan nama jalan/lorong. Burung Merpati menjadi hewan peliharaan untuk menambah eksotik pekarangan rumah, apalagi ketika burung Merpati telah jinak dan bisa dilepas tanpa harus dikurung dalam sangkar.

Seantero Bentala mengenal burung Merpati dan cukup mudah ditemukan. Tidak elok kemudian jika lewat artikel ini mengulang pengetahuan yang sama, sesuatu yang sudah diketahui dan dibicarakan seantero bumi. Namun artikel "Merpati disudut Kota" bertujuan untuk berbagi cerita kehidupan sekelompok masyarakat yang hidup penuh damai dan kekeluargaan.

Berawal cerita pada tahun 2021, saya bersama keluarga sepakat untuk mencari kontrakan baru. Dari sejumlah rumah yang kami survey, kemudian sepakat mengambil rumah kontrakan yang dikelola oleh Om Bram di lorong Merpati, Dusun Muhajirin, Gampong Lampaseh Kota, Kota Banda Aceh, Aceh. Gampong Lampaseh Kota lokasinya berbatas langsung dengan desa yang kami tempati sebelumnya desa Merduati, sehingga tidak terlalu sulit untuk memindahkan barang.

Pada awalnya kami memiliki kekhawatiran jika lokasi kontrakan baru tidak senyaman rumah yang sedang kami tempati. Namun semua konsekuensi kami sepakat untuk menikmati bersama, lagi pula kami orangnya suka bergaul, ramah, dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, tentu ini menjadi modal awal untuk bisa hidup diperantauan.

Pada tanggal 7 oktober 2021 kami mulai memindahkan beberapa barang dari rumah kontrakan lama. Barang -- barang kecil kami bawa menggunakan sepeda motor dan becak, baru kemudian seperti lemari, kulkas, dan beberapa barang berat lainnya kami antar pakai mobil.

Keramah -- tamahan warga bisa langsung kami dapati. Ketika sedang kami turunkan barang, langsung disapa dan dibantu oleh tetangga "baru pindah ya bang, mari saya bantu turunkan lemarinya", sapa Heri yang kebetulan rumahnya berhadapan langsung dengan rumah yang kami tempati.

Heri juga membantu saya menjumpai kadus untuk membuat laporan. Sambil menjinjing dua kilo gula saya kerumah kadus melaporkan bahwa kami warga baru yang menempati rumah kontrakan Om Bram. Rumah kadus hanya berselang beberapa rumah dari rumah yang kami tempati. Pak Kadus ada memelihara burung puyuh, telurnya dijual kepasar. Di depan kandang puyuh, terdapat kursi dan meja kayu yang dijadikan tempat ngumpul warga. Jadi, malam itu tidak hanya berjumpa dengan pak kadus, juga sejumlah warga lain yang sedang ngopi di rumah pak kadus, termasuk Bang Pen seorang tokoh dan juga anggota Tuha Peut Gampong Lampaseh Kota.

Keakraban dengan pak kadus tidak berlangsung lama, karena beberapa bulan kemudian pak Kadus meninggal dunia. Alfatihah buat Pak Kadus Tarmizi, kami menjadi saksi bahwa beliau orang baik.

Kehidupan warga dilorong Merpati penuh rasa damai dan kekeluargaan, seperti halnya burung Merpati sebagai lambang perdamaian. Selain lorong Merpati, juga lorong Kelinci, dan lorong Karya yang menjadi satu kesatuan kehidupan pemukiman kami.

Beragam profesi warga tinggal disana. Mulai dari tukang, agen, pedagang, pensiuanan, pegawai swasta, ustadz, dan pelaku UMKM yang juga sebagai sumber ekonomi perempuan.

Dipersimpangan lorong terdapat satu kios kecil milik "TL" yang menjadi "energi" bagi warga. TL cukup terkenal dipemukiman yang kami tempati. Balita yang masih belajar bicara juga mampu memanggil TL, apalagi orang dewasa. Kios TL menyediakan makanan ringan bagi anak-anak, dan beberapa kebutuhan rumah dan dapur seperti minyak, gula, garam, penyedap, kecap, dan yang tidak pernah kosong adalah rokok. TL cukup sabar dalam melayani pelanggan, khususnya dalam melayani anak -- anak, terkadang butuh 5 -- 10 menit melayani anak -- anak saat membeli satu permen. Uniknya lagi, kios TL juga melayani "paska bayar", tapi ngutangnya tidak boleh lama -- lama.

Jika siang hari, pemukiman kami sepi, karena warga sibuk dengan berbagai aktifitas. Beda halnya ketika malam hari, kami yang laki -- laki ngumpul bersama untuk mendiskusikan isu -- isu terkni. Setidaknya terdapat empat "pos" yang kerap kami jadikan tempat ngumpul. Misalnya, diteras rumah Mas Romi, teras rumah Heri, teras rumah bang Zal, dan juga teras rumah saya. Tidak ada kesepakatan khusus saat malam ngumpul dimana. Akan tetapi terjadi secara alami dua tiga orang pertama duduk di pos mana, selanjutnya teman -- teman yang lain merapat kesanan.

Teman obrolan sudah pasti kopi atau minuman bandrek. Pilihannya ada kopi "BG" atau kopi Sanusi. Sedangkan minuman Bandrek dibeli di Peunayong, tapi spesialis beli bandrek hanya ada sama bang Ilham.

Warga yang tinggal di lorong merparti juga terkadang disebut "orang belakang", maksudnya orang yang tinggal dibelakang. Biasa sebutan ini dipakai ketika ada kegiatan ditingkat gampong, maka keuchik/kepala desa meminta orang belakang untuk bergabung atau kebutuhan lainnya.

Kehidupan kami cukup harmonis, rukun, dan damai. Tentunya kondisi ini terjadi karena sesame warga memiliki tenggang rasa dan kepedulian yang cukup kuat. Ketika ada warga yang musibah, maka semua warga berkunjung atau membantu, begitu juga saat warga membuat acara khanduri maka kami melakukan gotongroyong dan saling bantu untuk menyukseskan acara tersebut.

Ketika malam minggu, biasanya kami membuat acara makan kecil -- kecilan, tergantung jumlah "obat" yang tersedia. Serendah-rendahnya kami masak mie atau hanya sebatas gorengan, yang penting cukup buat anak -- anak, kaum ibu, dan teman kopi buat kami.

Dalam obrolan penuh canda tawa, tidak ada yang tersakiti atau tersinggung, meskipun saling bully. Itulah cerita singkat kehidupan kami di lorong Merpati, Kelinci, dan Berkarya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun