Mohon tunggu...
M. Nasir
M. Nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Lingkungan Hidup

Hak Atas Lingkungan merupakan Hak Asasi Manusia. Tidak ada alasan pembenaran untuk merampas/menghilangkan/mengurangi hak tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Standar Ganda Dalam Penanganan Konflik Satwa di Aceh

3 Desember 2023   12:33 Diperbarui: 3 Desember 2023   12:55 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Police line Gajah mati di kampung Karang Ampar, Aceh Tengah, Aceh (dok. pribadi)

Kenapa konflik satwa liar dilindungi seperti Gajah dan Harimau terus terjadi dengan manusia di Aceh? Padahal jika dilihat dari fase konflik telah terjadi sejak tahun 2002, artinya konflik satwa dengan manusia telah terjadi selama 20 tahun lebih, sebagimana yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Peusangan. Secara administratif DAS Krueng Peusangan meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, dan Pidie Jaya, provinsi Aceh.

Konflik Gajah dengan manusia kerap terjadi di Kecamatan Juli, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Kecamatan Pintu Rimee Gayo Kabupaten Bener Meriah, dan Kecamatan Ketol Kabupaten Aceh Tengah.

Kesengkarutan ruang menjadi faktor utama konflik itu terjadi. Terdapat kesamaan kebutuhan ruang antara satwa dengan manusia. Kondisi saat ini, satwa - satwa dilindungi tersebut berada dalam areal penggunaan lain (APL), yang seharusnya mereka berada dalam kawasan konservasi. Sedangkan di APL merupakan areal untuk pemukiman penduduk, dan wilayah kelola rakyat.

Kenapa satwa tidak lagi betah di habitatnya, yaitu dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi? Karena banyak aktifitas ilegal dalam kawasan yang membuat terusik dan terganggu habitat alaminya, sehingga satwa merintis koridor baru.

Kawasan hutan konservasi dan satwa dilindungi domain kewenangan berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sedangkan kewenangan APL berada di pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Inilah akar masalahnya sehingga konflik satwa tidak kunjung selesai. Sedangkan dampak dari konflik tersebut, telah terjadi korban jiwa kedua belah pihak, kerugian harta benda, dan menyebabkan kemiskinan disisi masyarakat.

Ditengah kesengkarutan ruang yang membuat konflik berkepanjangan, terjadi standar ganda dalam penanganan konflik yang diduga dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Penerapan standar ganda dilapangan menambah kekecewaan disisi masyarakat korban dan menambah deretan masalah baru di tengah masyarakat.

Disitu sisi pemerintah belum mampu memberikan solusi jangka panjang, disisi lain untuk kebutuhan jangka pendek pun tidak mampu dilakukan secara maksimal.

Ketika masyarakat membuat pengaduan ke BKSDA terkait kebutuhan penggiringan gajah, butuh waktu dua minggu lebih pengaduan tersebut baru mendapatkan direspon dari BKSDA. Sehingga masyarakat dengan inisiatif sendiri ditengah pengetahuan yang tidak cukup melakukan penggiringan Gajah ke dalam hutan.

Beda halnya ketika pengaduan terkait ada gajah mati, maka dalam hitungan 24 jam pengaduan tersebut direspon oleh BKSDA. Menurut tim kelapangan, memasang police line, pengambilan sampel, dan sejumlah tindakan lainnya, termasuk mewawancarai masyarakat.

Sedangkan ketika gajah mengobrak abrik rumah warga dan tanaman perkebunan/pertanian masyarakat, jangankan untuk diberikan kompensasi, pendataan kerugian saja tidak dilakukan. Sama halnya, ketika ada warga yang korban jiwa akibat Gajah, hanya mendapatkan santunan dimasa duka, belum ada jaminan pemenuhan kebutuhan hidup jangka panjang bagi keluarga korban yang ditinggalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun