Setelah gagal mempertahankan klaim sebagai keturunan nabi berdasarkan data-data ilmiah, serta terbongkarnya berbagai berbagai penyimpangan, seperti pemalsuan makam, pemalsuan sejarah hingga ajaran sarat tahayul dan khurofat, dukungan elit sosial dan politik menjadi satu-satunya benteng pertahananan kultural kaum Habaib Baalwi, mengingat satu-satunya validasi terbaik yang membuat klaim Habaib masih bertahan adalah dukungan elit NU dan para pemegang kuasa. Â
Secara organisatoris pilihan ini juga benar-benar aman mengingat kelompok nahdliyyin yang menolak keshahihan nasab Habaib Ba’alawi dan segala penyimpangannya hanya aktivis di level bawah, pengurus cabang ke bawah. Bila dikehendaki, PBNU dengan berbagai alasan dengan mudah menegur atau memberhentikan pengurus level bawah.
Alasan menghindari perpecahan tidak lebih dari alasan klise bagi yang tidak punya nyali untuk bersikap. Apalagi perpecahan yang dikhawatirkan sudah terjadi dan hampir mustahil dipersatukan.
Di Bawah Kendali Habaib
Berbeda dari nahdliyyin di level bawah yang ramai-ramai berjuang keras membebaskan diri dari belenggu penjajahan spiritual oleh kaum Habaib, para pengurus PBNU justeru tengah menikmati bulan madu, buah perjuangan bersama Habaib beberapa tahun sebelumnya. Kolaborasi elit-elit NU dengan Habaib telah membuat tokoh-tokoh dan publik figur NU menikmati panen raya dari arena politik dan pemerintahan maupun melimpahnya saweran dari panggung ke panggung pengajian.
Apalagi beberapa dasa warsa terakhir kaum Habaib sukses membangun bergaining kuat dengan kekuasaan, elit-elit struktural NU, publik figur serta basis-basis tradisional NU di pesantren-pesantren besar. Beberapa Habaib yang menggarap NU sukses menjadi tokoh paling moncer atau populer di kalangan nahdliyyin, bahkan menggeser kedudukan para kyai NU yang harus terima menjadi tokoh dan ulama kelas dua, jauh di belakang para Habaib.
Ketua Umum PBNU sendiri tidak tampak mampu berbuat banyak karena kendali Habaib dan orang-orangnya. Disadari atau tidak oleh mayoritas nahdliyyin, kepemimpinan NU saat ini didominasi orang-orang yang memiliki kedekatan khusus dengan Habaib, baik secara kekerabatan ataupun lingkaran (cyrcle) relasional lainnya. Bahkan pimpinan utama NU juga dipegang pendukung Riziq Shihab, yang sebelumnya biasa menyerang NU.
Menonjolnya ketokohan Habaib dan koleganya di tubuh NU membuat PBNU terlihat inferior dan tidak punya nyali untuk merespon signifikan sikap dan tindakan kalangan Habaib yang melukai NU dan jamaahnya. Kasus-kasus penghinaan bahkan persekusi terhadap tokoh dan kyai NU dibiarkan berlalu begitu saja, tanpa respon berarti. Jangankan mengkoreksi kebenaran klaim Habaib sebagai keturunan nabi, PBNU bahkan terkesan maju-mundur berhadapan dengan Habib Lutfi bin Yahya yang terang-terangan berseberangan dalam pengelolaan salah satu Badan Otonom (Banom) NU, JATMAN.
Tidak mengherankan, meski dengan argumen dan tanpa dukungan data yang memadai mereka dengan suka rela berupaya menjadi juru bicara kaum Habaib. Serupa dengan narasi dan pola komunikasi para Habaib, dalam banyak kesempatan pimpinan PBNU secara sarkastik tidak segan membodoh-bodohkan, menuduh sesat, wahabi, khawarij dan sejenisnya terhadap kaumnya sendiri, dan lagi-lagi menekankan sikap mengedepankan prasangka baik (husnudzon).
Hanya Isu Akar Rumput, Bukan Elit
Polemik nasab hanya ramai diperbincangkan warga nahdliyyin di akar rumput (grassroot) dan tokoh-tokoh yang berada di luar struktur PBNU. Para aktivis yang membatalkan keshahihan nasab serta berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh para Habaib Ba’alawi hanyalah aktivis di tingkat pengurus cabang ke bawah hingga pengurus ranting, ditambah aktivis NU non-struktural. Ketokohan mereka muncul karena polemik nasab, bukan karena menjadi pengurus NU.