Di pihak lain, tidak ada kajian dari kalangan Habaib Ba'alawi dan pendukungnya yang mampu menyajikan antitesa dengan data pembanding yang terverifikasi. Data-data yang ditunjukkan oleh Rumail Abbas, Idrus Romli hingga kitab yang disebutkan oleh seorang Habib dari Jember Jawa Timur dengan mudah dimentahkan validitasnya oleh Kyai Imaduddin, hingga  menjadikan tesis pembatalan nasab Habaib Ba'alawi menjadi satu-satunya kebenaran yang dapat dipercaya berdasarkan data-data ilmiah.
Sebagai pengetahuan ilmiah, fakta-fakta tersebut terbuka untuk ditelusuri kembali oleh siapapun untuk diuji validitasnya. Siapapun yang berniat membatalkan hasil kajian lmiah tersebut tentu harus mampu memberikan antitesa ilmiah dengan menyajikan data-data dari sumber yang dapat diuji kebenarannya.
Kebenaran Otoritatif
Meski sedemikian jelasnya dukungan data ilmiah ditunjukkan oleh Kyai Imaduddin, Menachem Ali dan berbagai peneliti dan pemerhati nasab, bukan berarti kaum Habaib Ba'alawi menyerah begitu saja. Kaum Habaib Ba'alawi  tetap kukuh dengan klaim mereka sebagai keturunan nabi, dengan membangun narasi yang berbeda. Narasi dan argumentasi yang mereka gunakan secara epistemologis berpijak pada paradigma kebenaran otoritatif.
Kebenaran otoritatif adalah sebuah konsep kebenaran yang tidak didasarkan atas bukti berupa data-data yang valid dan teruji, melainkan hanya berdasarkan pendapat atau pengakuan tokoh atau lembaga tertentu yang dianggap lebih tahu atau lebih berhak memberikan pendapat. Kebenaran otoritatif tidak memerlukan data apapun sebagai bukti kebenaran, bahkan  kadang tidak harus masuk akal. Dasar kebenaran otoritatif adalah keyakinan bahwa pendapat tokoh-tokoh atau institusi tertentu memiliki kasta lebih tinggi dalam menentukan kebenaran dibanding yang lain, sehingga harus dipercaya dan diikuti. Â
Penggunaan kebenaran otoritatif dapat dicermati dari argumen utama Habaib Ba'alawi yang banyak menarasikan pendapat tokoh-tokoh (ulama) besar seperti Imam Nawawi dan para ulama berpengaruh semisal kyai Hasyim Asy'ari, Kyai Maemoen atau guru Sekumpul sebagai dalil keshahihan nasab mereka. Pengakuan dan penghormatan para ulama yang dianggap lebih alim, lebih dulu, lebih senior dan lebih populer semacam itu sudah cukup sebagai dalil kebenaran bagi klaim mereka sebagai keturunan nabi.
Logika kebenaran otoritatif kurang lebih berbunyi, bila ulama-ulama besar sudah mengakui berarti tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, apalagi oleh ulama yang levelnya dinilai lebih rendah. Kebenaran didasarkan atas siapa yang berbicara bukan pada kualitas data dan argumentasinya. Hasil kajian seilmiah apapun tidak diterima, apabila para pengkajinya dianggap tidak lebih alim dan diakui lebih shaleh dibanding tokoh-tokoh yang mereka jadikan sandaran kebenaran, sekalipun ukuran kealiman tidak jelas parameternya.
Kebenaran otoritatif cenderung mengandung logika sesat (logical fallacy), karena berusaha membungkam lawan bicara bukan karena kualitas pendapatnya tetapi karena statusnya. Melecehkan lawan bicara (ad hominem) menjadi cara lazim bagi pengguna logical fallacy dalam membungkam lawan bicaranya. Â
Hal ini terlihat dari narasi dan framing para Habaib Ba'alawi yang cenderung mendelegitimasi, merendahkan hingga menafikan tokoh-tokoh yang membatalkan nasab mereka, dengan menyebut mereka sebagai kroco-kroco, yang tidak berhak, tidak kompeten, tidak berilmu, tidak absah, tidak layak dipercaya, bukan pakar nasab, tidak mewakili lembaga nasab, tesis abal-abal, pemecah-belah dan berbagai narasi merendahkan lainnya. Narasi dan framing tersebut ditujukan agar para pembatal nasab tidak dipandang lebih hebat, lebih tinggi derajat keamimannya dan tidak lebih dapat dipercaya dibanding tokoh-tokoh yang mereka jadikan legitimasi.
Para Habaib Ba'alawi sangat keberatan masyarakat luas, apalagi yang status sosialnya dianggap tidak selevel dengan golongan mereka turut terlibat dalam polemik nasab Habaib Ba'alawi. Itu sebabnya, dalam beberapa kasus, mereka dan pendukungnya tidak segan melakukan persekusi dan kekerasan demi membungkam masyarakat yang mendukung pembatalan nasabnya.
Kalangan Habaib Ba'alawi sangat sensitif terhadap tokoh-tokoh yang dinilai mendukung pendapat kyai Imaduddin. Dari video di media sosial mereka terlihat langsung beramai-ramai mendatangi Kyai Miftahul Akhyar, Kyai Syukron Makmun dan seorang ibu Nyai di Jawa Timur setelah beredar pernyataan yang menunjukkan sikap netral dan terkesan mendukung kajian nasab Habaib Ba'alawi. Tidak lama berselang, tokoh-tokoh tersebut mengubah pandangannya melalui pernyataan yang lebih lunak bahkan meminta maaf.