Setelah dua tahun berjalan, perdebatan nasab Habaib Baalwi tampaknya telah sampai pada kesimpulan akhir dan hanya menyisakan gimmic-gimmic di luar substansi perdebatan nasab. Suka tidak suka, terdapat dua kesimpulan berbeda yang telah mengkristal menjadi keyakinan yang hampir mustahil berubah bagi masing-masing kelompok. Kelompok yang dipelopori Kyai Imaduddin meyakini bahwa habaib Baalwi tidak terbukti sebagai keturunan nabi. Di pihak lain, kelompok Habaib Baalwi dan para pendukungnya kukuh meyakini bahwa mereka benar-benar keturunan nabi berdasarkan argumentasi mereka sendiri.
Berdasarkan narasi dan argumentasi keduanya, tampaknya perbedaan ini tidak akan pernah mencapai titik temu mengingat masing-masing pihak menggunakan paradigma atau cara berfikir (epistemologi) yang berbeda dalam menilai keshahihan nasab Habaib Baalwi. Bila ditelaah secara epistemologis, kelompok masyarakat yang menolak keshahihan nasab Habaib Baalwi berargumentasi menggunakan paradigma kebenaran ilmiah, sedangkan kalangan Habaib Baalwi dan para pendukungnya berpegang pada paradigma kebenaran otoritatif.
Kebenaran Ilmiah
Kebenaran lmiah adalah kebenaran yang didasarkan atas cara berfikir ilmiah, yaitu kebenaran yang dibangun berdasarkan fakta atau bukti berupa data-data yang dapat diverifikasi, diuji validitasnya, serta memenuhi hukum logika ilmiah. Kebenaran ilmiah menuntut adanya bukti-bukti yang dapat diverifikasi sebagai dasar kebenaran dan senantiasa terbuka untuk diuji kembali dengan data-data yang relevan dan tervalidasi.
Masyarakat yang tidak percaya bahwa habaib Baalwi keturunan nabi tampaknya tidak akan pernah berubah kesimpulan, mengingat hasil kajian yang dipelopori oleh kyai Imaduddin semakin matang dan sulit terbantahkan akibat komprehensifnya dukungan data-data tambahan yang teruji secara ilmiah dari berbagai  bidang-bidang keilmuan. Tesis pembatalan nasab Habaib Baalwi semakin meyakinkan oleh adanya dukungan data-data sejarah, filologi dan genetika yang lengkap, terverifikasi dan siap diuji kembali secara empirik.Â
Kyai Imaduddin mampu menghadirkan data-data dari kitab-kitab dan manuskrip nasab dan mendapatkan fakta meyakinkan bahwa klaim Habaib Baalwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa hanyalah hasil manipulasi atau pencangkokan nasab oleh  Ali Asy-Syakran 5 bahkan 6 abad sesudah masa hidup Ahmad bin Isa. Berdasarkan data-data manuskrip pula, Kyai Imaduddin mampu memperlihatkan bukti bahwa Ahmad bin Isa tidak hijrah ke Yaman dan tidak memiliki anak bernama Ubaidillah atau Abdullan yang diklaim sebagai datuk nasab Habaib Baalwi dan menjadi penghubung nasab mereka dengan nasab nabi saw.
Ubaidillah yang oleh kalangan Habaib Baalwi dinarasikan sebagai mujtahid mutlak, pada kenyataannya tidak jelas apa karya hasil ijtihadnya, tidak jelas catatan madzhab yang dibangun, karena tidak ada muridnya maupun ulama lain yang mencatat hasil ijtihadnya. Padahal, bila benar seorang mujtahid besar pasti ada ulama lain yang mengutip (nukil) pendapat atau menyebutkan namanya. Cerita tentang Ubaidillah tidak ditemukan dalam kitab dan manuskrip pada masanya (kitab sejaman), selain dari cerita Habaib Baalwi sendiri.
Indikasi pemalsuan yang dilakukan oleh Ali Asy-Syakran muncul akibat tidak adanya bukti-bukti kitab atau manuskrip lain pada masanya yang dapat dijadikan bahan untuk verifikasi. Bahkan banyak nama dalam rangkaian nasab yang dituliskan Ali Asy-Syakran terindikasi sebagai nama-nama fiktif karena tidak ada data manuskrip yang mencatat nama-nama mereka. Padahal di antara nama-nama tersebut ada nama Faqih Muqaddam yang oleh para Habaib Baalwi diglorifikasi memiliki derajat kewalian yang lebih tinggi dibanding Syaikh Abdul Qodir Jailani.
Bukti-bukti penambahan isi beberapa kitab nasab oleh kalangan Baalwi menambah keyakinan adanya kecenderungan memanipulasi catatan nasab dari beberapa pendahulu mereka. Data-data itulah yang mengantarkan pada kesimpulan bahwa nasab habaib Baalwi terputus (munqathi’) dan secara ilmiah diyakini tidak tersambung dengan nasab nabi. Sebagai kajian ilmiah, data-data dalam kitab-kitab dan manuskrip tersebut dapat diverifikasi kebenarannya oleh siapapun secara historis maupun filologis, sehingga sulit dibantah kebenarannya.
Penelusuran filologis oleh Menachen Ali juga mengungkapkan asal usul klan Baalwi yang berasal dari Hadrami secara meyakinkan bukan berasal dari ras Arab, apalagi dari suku Quraish, melainkan dari ras Askenazi. Demikian pula dengan berbagai peristiwa sejarah era Dinasti Usmani, yang mencatat adanya hukuman Syarif Makkah terhadap seorang Baalwi yang dihukum karena mengaku sebagai sayyid atau keturunan nabi, menguatkan fakta bahwa sejak lama klaim Habaib Baalwi sebagai keturunan nabi sudah dipertanyakan banyak pihak.
Hasil tes DNA membuka fakta yang paling sulit ditolak secara ilmiah, yang mana kaum Baalwi ternyata ber-Haplo Group G. Padahal keluarga nabi yang diidentifikasi sebagai bany Hasyim berhaplo Group J1. Rangkaian data-data inilah yang menguatkan bukti meyakinkan bahwa secara ilmiah kaum Habaib Baalwi jelas-jelas bukan keturunan nabi, bahkan secara genetik bukan termasuk ras Arab.