Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Batas Akhir Cintaku

31 Oktober 2011   14:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:14 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



Aku terkesiap saat kebetulan membaca sebuah halaman diary istriku. Berjuta rasa kecewa meluluhlantakkan gairah hidupku selaksa tertimpa segunung batu yang runtuh di atas kepalaku. Sajak sederhana itu memburamkan pandanganku hingga begitu kelam laksana terkubur teramat dalam di perut bumi.

Aku tahu, tokoh "kamu" itu pasti bukanlah aku. Dia pasti mantan pacarnya, sosok yang rupanya terlalu berarti baginya. Nama itu paling sering dia sebut di setiap ceritanya sejak kami menikah dulu. Tak terhitung berapa kali dia sebut nama itu dalam igauan tidurnya.

Sejujurnya aku terganggu, tapi aku mencoba mengerti dan menghargai masa lalunya. Apalagi pernikahan ini berawal dari simpatiku atas penderitaannya, yang terlunta begitu lama untuk sebuah kegagalan meraih restu orang tua. Aku hanya kisah pengganti kegagalannya untuk menikah dengan kekasihnya. Itu sebabnya aku mentolerirnya yang kadang suka kontak dengan mantan pacarnya, yang dia bilang tinggal layaknya saudara.

Sebenarnya aku merasa sikapnya mulai berbeda. Setiap kali telepon, dia selalu menyingkir jauh dariku, seakan tak ingin aku dengar pembicaraannya. Beberapa kali kupergoki dia sibuk menghapus SMS saat aku ada di dekatnya. Dia selalu genggam handphone-nya setiap waktu, seakan barang keramat yang hanya boleh disentuh tangannya sendiri.

Setelah semua peristiwa yang pernah kami lalui, pantang bagiku mengklarifikasi soal seperti itu dengannya. Beberapa kali mempertanyakan soal itu selalu dia sambut dengan nada tinggi, yang merusak harmoni rumah tangga kami. Dia begitu sensitif bila aku mulai curiga, meski kadang sikapnya membuatku tak percaya.

Pertama kali sejak sebelas tahun hidup bersamanya, runtuh sudah rasa percayaku padanya. Pengakuannya itu sungguh tak dapat kuterima. Dengan menahan berjuta rasa aku sadap teleponnya hari demi hari, sembari berpura-pura tak terjadi apa-apa.

Semula aku hanya merasa perlu tahu yang sesungguhnya dia lakukan, rasakan, pikirkan. Rupanya kenyataan itu jauh lebih buruk dari yang aku duga. Aku begitu tersiksa oleh perihnya rasa, sedih, kecewa dan putus asa setiap kali membaca SMS dan mendengar rekaman teleponnya dengan mantan pacarnya.

Aku mendengar semua cerita, tangis sedih, tawa dan gairah yang dia bagi bersamanya. Aku merasakan betapa nyaman jiwanya bersamanya, betapa terbuai hatinya oleh bujuk rayunya, betapa berbinar perasaannya oleh canda tawanya. Aku aku merasakan indahnya kemanjaannya, leguhan hasratnya, dan melangitnya harapannya, dan semua kemesraan yang tak sekalipun pernah dia tunjukkan padaku. Aku membaca setiap SMS-nya yang silih berganti seakan tak bisa berhenti. Aku menyimpan semua kata rindunya, ceritanya, bujuk rayu yang dia nikmati bersamanya.

Yang paling menyakitkan, dia selalu menyebutku satpam dalam kehidupannya. "Stt... Satpamku datang. Nanti sambung lagi ya?"  Begitu selalu dia akhiri telepon setiap kali ada aku. Ironisnya aku tak tahu harus berbuat apa. Aku biarkan waktu berlalu begitu saja, karena untuk yang satu ini dia bukan tempat yang tepat untuk bicara.

Aku merasa lega saat akhirnya dia tahu perubahan sikapku padanya. tanpa kusadari, dia bilang aku berubah jadi pemuram. Aku selalu bilang malas pulang setiap kali ngantor. Aku lebih nyaman jalani hari tanpanya.

"Pa, kita harus bicara. Kamu itu gimana sih? Sering kali kamu nggak mau terima teleponmu, kamu nggak pernah balas SMS-ku" Begitu jelasnya saat kami mulai bicara.

Tanpa beban aku tanggapi semua pertanyaannya. "Apa itu penting?" Jawabku santai.

"Penting nggak penting aku ini istrimu"

"Ya, kamu hanya istriku"

"Maksudmu?"

"Ya. Aku hanya anggap kamu istriku, ibu anak-anakku. Kamu bukan kekasihku"

"Aku sudah tidak percaya lagi padamu"

"Kamu mulai lagi menyoal itu?" sergahnya seolah tak tahu.

"Dengarkan ini. Atau baca ini dulu. Ini rekaman telepon dan SMS kamu" Timpalku sembari sodorkan headset, ipod dan beberapa lembar transkrip SMS.

Hanya beberapa detik dia membaca transkrip itu, tiba-tiba matanya berubah kosong memandangiku. Sepertinya dia ingin marah padaku, tapi sama sekali tak berkata apa-apa. Aku tahu ini memang saatku bicara.

"O iya, aku juga copy buku harianmu" Jelasku datar sembari sodorkan selembar sajaknya. Dia hanya bungkam seakan kehabisan kata.

"Sejujurnya aku tak bisa lagi bersamamu" Sambungku.

"Aku tak menyangka, sebelas tahun menjalani waktu bersamaku seakan tak berarti bagimu. Setelah perjalanan waktu, rupanya kehadiranku sama sekali tak menggantikan dia di hatimu" Jelasku lagi, tapi kali ini dia seakan enggan menanggapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun