Melihat sedemikian besarnya impor sapi dari negeri jiran, ternyata harga daging tetap saja tinggi. Padahal kalkulasi harga daging di tingkat petani pada awal 2010 hanya di kisaran 40 ribu rupiah/kg. Itu artinya, konsumen dalam negeri juga tidak diuntungkan.
Siapa lagi yang diuntungkan selain importir dan pengusaha yang bergerak di bidang penyediaan daging impor? Mereka pasti sudah menghentikan impor sapi, bila tidak untung. Faktanya, mereka tetap impor dan pasti akan menempuh berbagai cara agar kran ekspor dari negeri Cesey Stoner segera dibukan kembali.
Semoga kali ini mentan menjadikan momentum ini sebagai bahan evaluasi, apakah kebijakan impor naif yang sedemikian massive tersebut benar-benar ada manfaatnya? Kalau ada, siapa yang menikmati? Benarkah kebijakan itu memang ditujukan untuk rakyat? Benarkah kebijakan itu mendukung program swasembada daging 2014?
Bila kebebasan impor sapi hidup merupakan langkah menuju swasembada daging 2014, maka mudah-mudahan pemerintah membuka mata. Program swasembada daging 2014 telah "dimanfaatkan" oleh segelintir orang berduit sebagai jalan legal untuk mengeruk keuntungan mereka sendiri, dan mengakibatkan penderitaan rakyat banyak. Kebijakan tersebut juga berakibat pada kemerosotan harga ternak, dan telah membuat semakin banyak peternak kecil di daerah yang mulai meninggalkan kegiatan peternakannya.
Padahal swasembada ternak tentu tidak dilakukan dengan cara menimbun ternak sebanyak mungkin, tetapi memperkuat kegiatan peternakan di masyarakat. Bila semakin banyak masyarakat enggan beternak sapi, ke mana lagi swasembada daging hendak disandarkan? Mengemis ke Australia????
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H