Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sapi Australia untuk Siapa?

12 Juni 2011   15:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_116210" align="alignnone" width="680" caption="Ternak Milik Sendiri"][/caption]

Bagi para peternak kecil dan berkala rumahan, larangan ekspor sapi hidup oleh pemerintah dan asosiasi peternak sapi Australia merupakan tindakan "baik budi" yang teramat dihargai. Kebaikan hati mereka bukan karena mereka begitu peduli pada kesejahteraan hewan, tetapi karena kebijakan tersebut memberi setitik harapan bagi peternak kecil dan rumahan untuk kembali bangkit dari keputusasaan.

Kalau perlu, kasus-kasus penyiksaan sapi seperti yang tersebar di media massa akhir-akhir ini semoga terus terjadi di negeri ini, agar kebijakan negeri tetangga tersebut diberlakukan selamanya. Tentu itu bukan tindakan yang bermoral, tapi berguna bagi peternak kecil.

Sejak setahun silam sudah banyak keluhan peternak kecil yang berharap pada pemerintah agar menghentikan impor naif tersebut, tetapi rupanya tidak ada yang mampu mendengar "jeritan" rakyat kecil. Negeri tetangga rupanya lebih peka dan "peduli". Mereka bahkan dapat merasakan "penderitaan" sapi-sapi yang sebenarnya telah mereka jual ke seberang lautan.

Lebih kurang setahun terakhir, para peternak kecil dan skala rumahan benar-benar merasakan pahitnya penjajahan ekonomi oleh negeri tetangga tersebut. Pemerintah yang seharusnya menjadi satu-satunya pelindung sama sekali tidak memberikan pembelaan, bahkan membiarkan hegemoni peternakan negeri tetangga merampas hak ekonomi rakyat kecil.

Setahun terakhir merupakan masa paling suram bagi peternak sapi skala kecil dan rumahan. Dibukanya pintu impor yang sedemikian luas oleh pemerintah sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan pada masyarakat kecil. Bagaimana tidak, terhitung sejak pertengahan tahun 2010 harga ternak ruminasia tersebut di tingkat petani merosot drastis.

Banyak peternak kecil merugi gara-gara ternak impor tersebut, bahkan banyak pula yang akhirnya menyerah dan enggan beternak kembali. Peternak kecil, apalagi yang bekerja paro bathi (bagi hasil) ternak milik orang lain mulai enggan memelihara ternak karena nilai ekonominya bukan saja rendah, melainkan menjadi pilihan bodoh. Berternak sapi menjadi pilihan kerja yang tidak masuk akal.

Sekedar contoh kasus, di kabupaten Nganjuk Jawa Timur, merosotnya harga ternak hidup di tingkat petani sudah jauh di bawah level rasional. Harga sapi bakalan yang semula di kisaran 8-9 juta rupiah pada awal tahun 2010, jatuh menjadi hanya kisaran 3-4 juta rupiah saja pada catur wulan pertama tahun ini. Harga sapi anakan yang semula berada di kisaran 3-4 juta, merosot menjadi sekitar 1-1,8 juta saja, atau setara dengan harga bakalan kambing etawa.

Peternak kecil yang membeli ternak tahun lalu dan berharap memanen tahun ini sudah pasti gigit jari, sebab modal pembelian sapi sudah pasti hanya kembali separoh saja. Biaya pemeliharaan (produksi) tidak mungkin diharapkan karena modal saja sudah tidak kembali utuh. Jadi, peternak harus kehilangan sebagian modalnya, ditambah biaya produksi yang sudah pasti lenyap di makan ternak. Peternak yang memelihara ternak orang lain harus rela tidak mendapatkan imbalan apapun, sebab pemilik ternak saja sudah merugi.

Resiko beternak semakin berat bagi masyarakat bawah. Bila sebelumnya resiko beternak sapi hanya terletak pada kemungkinan terjadinya sakit dan kematian ternak, sekarang mereka dihadapkan pada ketidakpastian pasar yang jauh dari kemampuan mereka untuk mengatasi. Mereka bukan lawan yang seimbang bagi peternak Australia yang rata-rata merupakan tuan tanah dan pemilik modal besar.

Impor sapi secara besar-besaran dari Australia selama satu setengah tahun terakhir merupakan alasan para pedagang ternak menurunkan harga sapi dan mengakibatkan kemerosotan harga ternak di daerah. Anehnya, harga daging ternak tersebut di pasaran tetap tinggi, yaitu di atas 56 ribu/kilogram.  Harga tersebut relatif tidak berbeda dibanding saat harga ternak hidup berada pada level normal awal 2010.

Melihat sedemikian besarnya impor sapi dari negeri jiran, ternyata harga daging tetap saja tinggi. Padahal kalkulasi harga daging di tingkat petani pada awal 2010 hanya di kisaran 40 ribu rupiah/kg. Itu artinya, konsumen dalam negeri juga tidak diuntungkan.

Siapa lagi yang diuntungkan selain importir dan pengusaha yang bergerak di bidang penyediaan daging impor? Mereka pasti sudah menghentikan impor sapi, bila tidak untung. Faktanya, mereka tetap impor dan pasti akan menempuh berbagai cara agar kran ekspor dari negeri Cesey Stoner segera dibukan kembali.

Semoga kali ini mentan menjadikan momentum ini sebagai bahan evaluasi, apakah kebijakan impor naif yang sedemikian massive tersebut benar-benar ada manfaatnya? Kalau ada, siapa yang menikmati? Benarkah kebijakan itu memang ditujukan untuk rakyat? Benarkah kebijakan itu mendukung program swasembada daging 2014?

Bila kebebasan impor sapi hidup merupakan langkah menuju swasembada daging 2014, maka mudah-mudahan pemerintah membuka mata. Program swasembada daging 2014 telah "dimanfaatkan" oleh segelintir orang berduit sebagai jalan legal untuk mengeruk keuntungan mereka sendiri, dan mengakibatkan penderitaan rakyat banyak. Kebijakan tersebut juga berakibat pada kemerosotan harga ternak, dan telah membuat semakin banyak peternak kecil di daerah yang mulai meninggalkan kegiatan peternakannya.

Padahal swasembada ternak tentu tidak dilakukan dengan cara menimbun ternak sebanyak mungkin, tetapi memperkuat kegiatan peternakan di masyarakat. Bila semakin banyak masyarakat enggan beternak sapi, ke mana lagi swasembada daging hendak disandarkan? Mengemis ke Australia????

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun