Mohon tunggu...
Irfan Tamwifi
Irfan Tamwifi Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

Bagikan Yang Kau Tahu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Risma dan Wajah Asli PDIP Surabaya

18 Februari 2014   23:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_323354" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/02/02/1352112/PDI-P.Mulai.Perhitungkan.Risma "][/caption]

Heboh soal pengunduran diri Tri Rismaharini dari jabatan Wali Kota Surabaya memunculkan sejumlah tanya dari masyarakat mengenai apa penyebabnya. Banyak dugaan mengemuka mulai dari kemungkinan adanya tekanan dari gubernur, hingga tekanan dari kalangan DPRD Surabaya sendiri.

Gonjang-ganjing tersebut telah terjawab oleh penegasan DPP PDIP yang menyatakan penyebabnya justeru tekanan dari internal PDIP sendiri. Ambisi kekuasaan membabi-buta para fungsionaris PDIP sendirilah yang justeru membuat wali kota dengan segudang prestasi itu tertekan dan merasa jalan sendirian.

Menyimak kembali penolakan politisi PDIP di awal pencalonan Risma sebagai wali kota memperlihatkan betapa buruknya orientasi para elit partai pada usaha mempertahankan status quo. Tekanan dari internal PDIP bukan hal baru, sebab sejak awal pencalonannya, Risma sebenarnya tidak dikehendaki oleh PDIP Surabaya. Bahkan beberapa bulan setelah terpilih sebagai wali kota, PDIP justeru menjadi motor politik yang menggiring partai-partai lain yang nota bene merupakan rival-rival politiknya, untuk "mengerjai" wali kota yang diusung oleh partainya sendiri.

Melalui hak Angket, PDIP menggiring "pelengseran" Risma yang akhirnya berakhir dengan tertawaan. Bagaimana tidak, sang walikota dilengserkan oleh tindakannya menertibkan papan reklame di kota Pahlawan itu, tercatat hanya PKS yang menolak menonaktifkan Risma waktu itu. Tak kuasa menanggung malu, partai Demokrat akhirnya mencabut dukungan penonaktifan dengan dasar yang KONYOL itu, setelah sebelumnya PDIP sendiri balik kucing dan mencabut keputusannya.

Rupanya Risma hanya diperalat elit PDIP yang sarat ambisi kekuasaan. Wali kota Surabaya sebelumnya yang juga berasal dari PDIP masih belum "legowo" melepas jabatannya. Tidak berlebihan bila banyak artikel di media massa mensinyalir pilihan Risma sebagai calon wali kota semula hanya ditujukan sebagai "bumper politik” sang calon wawali. Ambisi berlebihan calon wawali untuk kembali berkuasa yang mentok oleh aturan perundang-undangan, sepertinya belum padam, meski gagal menempuh jalur judicial review. Mereka menjadikan Risma sebagai wali kota abal-abal dan lemah yang mudah disingkirkan - meski dengan alasan yang tak masuk akal - sehingga sang elit mendapat kesempatan untuk kembali berkuasa.

Orientasi kekuasaan kian jelas saat elit PDIP mencalonkan gubernur Jawa Timur. Rendahnya popularitas dan elektabilitas tak menghalangi elit PDIP untuk maju merebut kekuasaan lebih tinggi, meski akhirnya hany mendapat dukungan suara nomor buntut.

Elit PDIP di daerah pantas saja melakukan semua itu, sebab sang pucuk pimpinan partai sepertinya juga berkecenderungan setali tiga uang. Meski kalah populer dibanding Jokowi, tetapi Megawati masih belum rela mencapreskan Jokowi.  PDIP sepertinya bukan partai rakyat kecil seperti jargon mereka selama ini, sebab kalkulasi politik mengalahkan ambisi pribadi tokoh-tokohnya.

Kegagalan meraih kursi gubernur rupanya tak menyurutkan niat kader PDIP lain untuk berhenti merebut kekuasaan di kota Surabaya. Ambisi merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara kembali berlanjut saat pemilihan calon wakil wali Surabaya. Meski melalui proses politik yang aneh dan carut-marut, wakil wali kota yang baru kembali mengusik kekuasaan Risma dengan cara berbeda.

Selain mempertegas besarnya ambisi kekuasaan di kalangan politisi tak populer, gerak politik PDIP surabaya membuka tabir perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Tekanan proyek jalan tol dalam kota yang semula diduga berasal dari gubernur Jawa Timur, rupanya juga melibatkan kepentingan elit PDIP Surabaya. Terkuaknya skandal lobi dan suap yang dimaksudkan agar Risma menyetujui proyek tersebut, membuka borok kepentingan elit PDIP Surabaya, dan tak menutup kemungkinan politisi lain, yang sudah terlanjur menyetujui proyek tersebut pada era wali kota sebelumnya.

Bukan rahasia lagi, pemenang tender yang nilainya triliunan itu sudah pasti sudah memasok "upeti" yang tidak sedikit pada pejabat-pejabat yang berkepentingan. Apalagi mega skandal Hambalang yang juga melibatkan sang pemenang tender justeru terkuak dari kasus jalan tol Surabaya.

Kalau saja tidak ada tekanan publik terutama sejak perbincangan Risma di acara Mata Najwa, bukan mustahil DPP PDIP memilih bungkam dan membiarkan gerakan pelengseran Risma bergulir begitu saja. Kalau saja DPP PDIP tak segera bertindak, bukan mustahil hari ini Risma sudah benar-benar tak tahan lagi menjabat wali kota Surabaya. Ancaman mundur tersebut tampaknya tidak main-main, sebab Risma bahkan sudah berkemas dari rumah dinasnya.

Campur tangan DPP PDIP itupun tampak sekali hanya lips service, demi menjaga kredibilitas partai. Sama sekali tak ada otokritik dari DPP PDIP pada partai dan kader-kadernya yang hanya mampu memperburuk citra partai. Pengurus DPP maupun DPD bahkan lebih suka melempar kesalahan pada pihak lain, seperti gubernurpejabat nakal - seakan mereka orang baik - dan adu domba pihak luar.

Tekanan pada Risma merupakan fenomena politik yang unik, atau lebih tepatnya Naif. Memiliki wali kota sekaliber Risma seharusnya menjadi kebanggan dan aset penting buat PDIP, tetapi faktanya justeru sebaliknya. Sang wali kota justeru dirongrong oleh orang-orang PDIP sendiri sejak awal. Padahal di tengah situasi menjelang Pemilu seperti ini, sebenarnya bukan Risma yang butuh PDIP tetapi sebaliknya.

Jalan pikiran para fungsionaris PDIP Surabaya perlu dipertanyakan. Dengan kredibilitasnya selama ini, seharusnya Risma menjadi “senjata ampuh” untuk mengangkat citra partai. Apalagi PDIP berambisi kuat memenangkan Pemilu setelah pada Pemilu 2009 lalu dipecundangi partai Demokrat. Popularitas Risma jauh melampaui kader-kader PDIP manapun di Surabaya dan Jawa Timur, dan tidak ada partai di Jawa Timur yang memiliki pemimpin sesukses dan sepopuler Risma. Secara politik, seharusnya PDIP tinggal ndompleng popularitas Risma, meski popularitas wali kota tersebut bahkan bukan karena PDIP, melainkan karena prestasi Risma sendiri sejak sebelum menjabat wali kota.

Ironisnya, internal PDIP justeru menjadi “biang kerok”, betapapun Risma pada awalnya bukan kader PDIP. Risma yang seharusnya menjadi representasi PDIP justeru dibela dan diperjuangkan berbagai lapisan masyarakat di luar partai. Hari-hari ini Risma merupakan pemimpin yang diidolakan masyarakat Surabaya, tetapi tak lebih dari sampah yang harus segera disingkirkan di mata elit PDIP. Kiprah PDIP hanyalah kendaraan politik bagi para politisi yang risih dengan orang bersih dan berintegritas. Kasus PDIP vs Risma, mengingatkan kita pada kisah "Perawan di Sarang Penyamun", nasib orang baik di tengah kumpulan penjahat.

Fenomena kepemimpinan Risma dan rongrongan politisi PDIP memperlihatkan wajah asli para politisi PDIP Surabaya.  Bisa jadi hal ini hanya terjadi di Surabaya, tetapi bukan mustahil juga merepresentasikan wajah PDIP secara keseluruhan. Bukan mustahil hal serupa juga terjadi di daerah lain, bahkan partai-partai lain.

Pertarungan politisi PDIP vs Risma sejak awal pencalonannya hingga saat ini memperlihatkan betapa ironis wajah politik partai politik yang seharusnya berhaluan konservatif ini. Sepak terjang para politisi partai mocong putih tersebut memperlihatkan rendahnya integritas sekelompok wakil rakyat. Keberuntungan PDIP memiliki pemimpin daerah terhebat di negeri ini, seperti Jokowi dan Risma. Sayang sekali, prestasi tersebut justeru dinodai oleh kadernya sendiri yang justeru memperlihatkan wajah politik yang berorientasi pada status quo, ambisi kekuasaan yang menghalalkan segala cara, serta kuatnya orientasi proyek dibanding visi kerakyatan yang menjadi ideologi politiknya.  Ironis!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun