Tanpa henti terekspose ke dunia melalui media, generasi milennial terus-menerus menjalin hubungan sosial. Secara pribadi, mereka melakukan perjalanan berkelompok, belanja, dan bermain bersama. Secara online, mereka mencari peluang untuk mengidentifikasi teman-teman dalam skala yang lebih kecil, bergabung dengan komunitas, dan bergaul dengan rekan-rekan di seluruh dunia.
Mereka juga berpengalaman menggunakan teknologi digital. Generasi milenial adalah yang pertama dikelilingi oleh media digital. ICT selalu menjadi bagian dari kehidupan mereka, dan karena akses ini, generasi milenial secara alami tertarik padanya. Perlu diketahui, mereka juga berani mengambil risiko, Jika tidak berhasil, mereka akan mencoba dan mencoba lagi.
Mereka menghargai waktu istirahat karena mereka memandang hidup sebagai tidak pasti. Mereka memandang kehidupan secara berbeda. Mereka mengamati orangtua mereka bekerja keras untuk mengantisipasi dan mendapatkan status atau tingkat pencapaian tertentu sebelum istirahat.
Pertanyaannya, mampukah guru yang terlahir di era Generasi X, mengajar siswa yang lahir pada generasi milenial atau gen Y? Jawabnya, tentu sangat ditentukan oleh sejauhmana guru atau tenaga kependidikan mampu menyesuaian diri. Masih banyak guru yang perlu dilatih menguasai literasi teknologi kekinian, seperti menggunakan aplikasi laptop. Menurut pengalaman Pengawas Sekolah, masih banyak tendik, khususnya kepala sekolah yang belum menguasai literasi komputer. Alasannya, mereka masih bisa menyuruh tenaga administrasi sekolah, teknisi, atau guru yang menguasai literasi komputer.
Berkaitan dengan teknologi kekinian, ada banyak tantangan yang harus ditaklukkan oleh guru agar mampu menjadi pengajar di kelas siswa generasi milenial, sebagai berikut.
Pertama, pembelajaran harus relevan dengan siswa. Belajar menjadi lebih berarti ketika mereka memahami aplikasi praktis informasi yang mereka terima. Konten harus spesifik, ringkas, dan cepat.
Generasi millenal haus informasi dan akan mencarinya sendiri jika guru tidak menyajikan apa yang mereka anggap relevan. Karena begitu banyak informasi yang selalu tersedia, mereka tidak merasa perlu belajar setiap hal segera. Sebaliknya, mereka ingin diajari bagaimana dan di mana mereka dapat menemukan apa yang mereka butuhkan.
Kedua, teknologi dapat mengalihkan perhatian. Meskipun generasi millenial paling tanggap teknologi tinggi, siswa-siswi ini dan lebih sering gurunya mungkin menjadi sangat terganggu olehnya.
Ketiga, teknologi bisa mahal. Biaya yang terkait dengan penerapan sumber daya teknologi baru di lembaga akademis merupakan hal yang menakutkan. Keempat, generasi milenial berisiko berlebih andal terlalu banyak bekerja. Generasi paling terjadwal yang pernah ada, generasi milenial terdorong untuk berhasil tidak seperti generasi sebelumnya.
Kelima, beberapa generasi milenial cenderung tidak melanjutkan pendidikan pasca sekolah menengah. Ketika pendidikan formal tidak menarik, Milenium beralih ke kelompok karier, yang memberikan pendidikan keterampilan, alih-alih masuk ke universitas.
Gaptek, menjadi salah satu penyakit yang harus dihilangkan dari sosok seorang guru profesional di era milennial. Disadari atau tidak, teknologi informasi mampu mengantar paket pengetahuan melampaui segala rintangan alam, seperti terjalnya lembah, luasnya lautan, dan tingginya bebukitan. Melalui aplikasi yang ada di Laptop maupun handphone, pengetahuan dengan cepat hadir di tengah kita.