Seorang guru profesional di era milenial atau Generasi Y, tidak cukup hanya menguasai kompetensi guru yang empat, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Perkembangan Teknologi Informasi yang begitu pesat, mengharuskan seorang guru menjadi bagian dari kemajuan teknologi itu sendiri. Jika mereka lahir pada Generasi X atau genereasi tradisional, maka dia harus mengejar ketertinggalan itu dengan belajar berbagai aplikasi teknologi kekinian. Jika tidak, maka mereka hanya akan menjadi guru yang pandai menceritakan masa lalu belaka, padahal masa lalu sudah lama ditinggalkan. Mendikbud, Prof. Muhajir Effendi menambahkan guru professional di zaman milenial harus memenuhi kompetensi inti (expertise), tanggung jawab social (responsibility), dan kesejawatan (esprit de corps).
Banyak orang yang bertanya, guru kita profesional? Ada banyak indikasi untuk dapat menjawab pertanyaan itu. Menguasai kompetensi guru merupakan jawabannya. Namun di era milenial ini, seorang guru proesional juga dituntut menguasai teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Meski tugas guru tidak bisa digantikan robot, tetap pengaruh pesatnya perkembangan TIK sangat berdampak, baik dalam proses transformasi ilmu maupun output siswa itu sendiri. Menguasai TIK bagi guru menjadi bagian penting yang harus dilakukan, agar tidak terjadi "jurang pemisah" antara guru dan siswa.
Seorang dikatakan profesional jika orang itu mampu mengerjakan suatu jenis pekerjaan dengan sempurna, dan dibuktikan dengan surat keterangan yang menyatakan dia mampu melakukan pekerjaan itu. Ibarat seorang sopir, maka dia harus mampu mengendarai mobil dengan baik, dan dibuktikan dengan adanya Surat Izin Mengemudi (SIM).
Jika dia bisa mengemudi tanpa memiliki SIM, maka dia bisa berhadapan dengan polisi lalu lintas, dan jika dia memiliki SIM, tapi belum mahir menyetir mobil, maka kecelakaan lalu lintas akan terjadi. Jadi, seorang dikatakan profesional harus memenuhi dua syarat, yakni mampu mengerjakan sesuatu dengan sempurna dan memiliki bukti berupa lisensi yang menyatakan dia itu kompeten.
Pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud, telah mengupayakan agar guru memiliki sertifikasi untuk membuktikan bahwa mereka memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Dikbud, pada tahun 2001, guru yang layak mengajar baru 38,5%, dan sisanya 61,5% belum layak.
Banyak hal yang menyebabkan hal itu terjadi, seperti banyaknya guru yang belum memperoleh gelar sarjana pendidikan, guru tidak mengajar sesuai dengan bidang ilmunya, tidak meratanya guru, dan sebagainya.
Upaya terus dilakukan pemerintah, yang diawali dengan Uji Kompetensi Guru (UKG) dilanjutkan dengan diklat peningkatan kompetensi guru, Pendidikan dan latihan Profesi Guru (PLPG), yang ditindaklanjuti dengan sertifikasi guru dan pemberian tunjangan profesi, mutasi guru, termasuk perubahan kurikulum.
Disadari betul, bahwa siswa yang hidup di era milenial ini dalam sehari menghabiskan 6,5 jam untuk membaca media cetak, elektronik, digital, broadcast dan berita. Mereka mendengarkan dan merekam musik; melihat, membuat, dan mempublikasikan konten Internet serta tidak ketinggalan menggunakan smartphone. Disadari pula bahwa generasi muda pada era kekinian memiliki berbagai macam karakteristik.
Mereka suka memegang kendali, tidak mau terikat dengan jadwal tambahan, dan mereka tidak terlalu suka duduk di ruang kelas untuk belajar atau di kantor untuk bekerja. Sebaliknya, mereka lebih suka menggunakan teknologi untuk belajar kapan saja, siang, atau malam, melakukan telekomunikasi dari mana saja dan mendefinisikan "keseimbangan" dengan cara masing-masing.
Selain itu, di lingkungan berbasis proyek, generasi milenial menggunakan teknologi untuk menyelesaikan tugas dengan cara baru dan kreatif. Kebutuhan mereka akan metode alternatif untuk menyelesaikan tugas menghadirkan tantangan ketika menggunakan pengukuran tradisional untuk menentukan produktivitas. Mereka juga berorientasi pada kelompok dan sosial.