MENGANALISIS KRISIS IDENTITAS DI SAMPIT DENGAN SILA KETUHANANÂ
Oleh: Nashih Ulwan
STAI AL-ANWAR SARANG REMBANG
Agar lebih tahu tentang teori yang saya buat dalam artikel ini, marilah kita simak baik-baik. Sebelum memasuki pembahasan, saya akan menyampaikan alasan saya memilih peristiwa tersebut, saya memilih peristiwa tersebut karena, dibalik peristiwa perang sampit terdapat perbedaan budaya, ekonomi, dan sosial sehingga terjadi konflik antaretnis Suku Dayak asli dan Suku migran Madura.
Lantas, apa yang dimaksud dengan etnis?. Etnis atau etnik adalah konsep yang diciptakan oleh masyarakat berdasarkan ciri khas sosial yang dimiliki sekelompok masyarakat yang membedakannya dengan kelompok masyarakat yang lain.Â
Sedangkan pengertian konflik adalah ketidaksesuaian tujuan, keyakinan, sikap, dan tingkah laku. Dibalik peristiwa kelam tersebut pasti adanya suatu tujuan atau cita-cita yang tidak dapat dicapai karena beberapa faktor.
Mengutip dari Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, tahun 2022 bahwa faktor-faktor yang dapat memicu adanya konflik terbagi menjadi tiga bagian, yaitu paradigma kultural, paradigma struktural, dan paradigma budaya.
 Faktor pertama yaitu paradigma kultural memandang bahwa suatu ancaman terhadap etnik tersebut disebabkan adanya konflik antaretnik itu sendiri, sedangkan faktor yang kedua yaitu paradigma struktural memandang bahwa adanya konflik disebabkan isu terkait masalah ekonomi, politik dan sebagainya.Â
Berbeda dengan pandangan paradigma budaya yang mengeklaim bahwa konflik etnik disebabkan oleh ancaman terhadap budaya, karena termasuk bentuk identitas sosial. Pada peristiwa ini merupakan sejarah silam pasca reformasi tepatnya pada awal Februari 2001. Lantas, apa penyebab konflik dari kedua etnis tersebut?, dan bagaimana cara meredamkan konflik yang besar sehingga kondisi menjadi normal kembali.
 Sebenarnya dari konflik yang timbul dari kedua suku tersebut memiliki beberapa versi cerita. Terdapat versi yang menceritakan konflik tersebut berawal dari program transmigrasi yang dirancang oleh kolonial Belanda.Â
Adanya program tersebut mengakibatkan Suku Madura di Kalimantan Tengah telah membentuk populasi 21% sehingga mengancam wilayah dan kenyamanan Suku Dayak. Suku Dayak menilai bahwa Suku Madura tidak bisa diatur, mereka berbuat semaunya sendiri dan menganggap bahwa di Sampit seperti halnya di daerah mereka sendiri.Â