PAK GINO termangu di halaman rumahnya, meski kini sudah bukan halaman lagi. Karena kini dia hanya bisa menatap rumahnya yang roboh rata tanah memenuhi halaman. Kayu, dinding, dan genting tindih menindih dan berserakan menutup tanah. Rumah Pak Gino satu-satunya yang roboh setelah puting beliung menerjang kampungnya.
Pak Gino masih termangu, otaknya berputar mencari solusi untuk membangun kembali rumahnya. Pak Gino memang hidup sebatang kara sejak istrinya meninggal beberapa tahun lalu. Andai masih dinas seperti tahun lalu, mungkin Pak Gino tidak merasa pusing. Dia akan mudah mendapatkan uang.
Kedua anaknya bertransmigrasi dan hingga sekarang tak ada kabar dari mereka. Hari-harinya dilingkupi kesepian hati dan kesunyian batin. Uang pesangonnya sebagai 'pensiunan' anggota Tib-Um makin menipis.
"Ah, seandainya masih bekerja sebagai petugas Tib-Um."
Hati Pak Gino bertarung, ingin menyalahkan siapa karena musibah. Namun kadang berpikir bahwa itu adalah buah karma dari perbuatannya saat masih dinas. Meski cuma tenaga honorer, namun saat itu hidup Pak Gino melebihi kehidupan teman-teman di kesatuannya. Kesatuan yang kini sudah berganti nama, sejak Pak Gino 'pensiun'.
Saat bertugas Pak Gino paling ditakuti terutama para pedagang kakilima. Tak tertib sedikit saja, tak segan Pak Gino menghancurkan lapak, gerobak, kemudian mengangkutnya dengan truk. Akhirnya para pedagang tahu kemauan Pak Gino.
Secara berjamaah para pedagang kakilima selalu memberi upeti harian kepada Pak Gino. Upeti berupa 'uang ketertiban' yang nominalnya tergantung dagangan atau lapak yang dimiliki pedagang. Mungkin bagi Pak Gino tidak seberapa, namun bagi pedagang uang 5 ribu hingga 10 ribu rupiah sangatlah berarti. Terlebih mereka harus setor setiap hari, ketika Pak Gino keliling pecinan atau pasar, juga jalan-jalan yang ramai pejalan kaki dan pedagang kakilima.
***
Pernah seorang perempuan tua memaki-maki Pak Gino. Pasalnya sepele, perempuan itu telat nunggak memberi upeti. Maka dengan paksa Pak Gino mengangkut lapak dan mengankutnya dengan truk. Perempuan itu menangis sambil memaki-maki Pak Gino tiada henti. Memaki dan mengutuk Pak Gino dengan wajah penuh air mata.
Pak Gino terkejut, kenapa lamunannya sampai ke perempuan pedagang kakilima itu. Perempuan yang memakinya, mengutuknya karena lapaknya dia ambil. Perempuan itu pun tak pernah terlihat berjualan lagi di dekat pangkalan becak.