Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Blarak

14 September 2019   23:52 Diperbarui: 15 September 2019   00:12 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: infopublik.id

DENGAN hati kesuh Kang Temon memanjat pohon kelapa miliknya di tepi jalan desa. Kesuh hatinya karena isterinya ngomel dari pagi minta dibuatkan sapu lidi, untuk mengganti sapu lidinya yang sudah menjadi sapu regel karena aus.

Dua pelepah blarak cukup untuk membuat sebuah sapu lidi, maka dipangkaslah blarak dengan parangnya. Dengan beberapa kali ayunan, putuslah pelepah blarak dan melayang jatuh.

"Pyar!"

Suara aneh terdengar oleh Kang Temon. Bukannya suara blarak jatuh, namun suara kaca pecah. Kang Temon melihat ke bawah.

Celaka! Ternyata blaraknya jatuh mengenai kaca mobil. Pangkal pelepah mengenai kaca depan sebuah mobil warna hitam. Tampak seorang lelaki keluar dan langsung menatap ke atas, ke arah Kang Temon.

Serta merta Kang Temon turun menemui orang itu. Dengan tergopoh-gopoh Kang Temon minta maaf kepada lelaki itu. Segera diturunkannya blarak dari atas mobil naas itu. Ternyata mobil itu berplat merah, tentu seorang pejabat yang mengendarainya, yang kini di hadapan Kang Temon.

"Bapak harus mengganti kaca mobil ini," kata lelaki itu.

"Tidak bisa Pak. Orang saya tidak sengaja kok. Ini kan kecelakaan," kilah Kang Temon.

"Begini saja, sekarang kita ke balai desa. Kita selesaikan di hadapan Bapak Kades. Saya tunggu di balai desa, sekarang."

Lelaki berdasi itu segera masuk ke mobil dan melaju ke arah balai desa. Kang Temon pun segera menyusulnya, dengan berjalan kaki. Otak Kang Temon berputar, bila diminta mengganti, dari mana uangnya? Untuk beli sapu lidi pun tidak ada, apalagi uang untuk mengganti kaca mobil. Celaka!

***

"Apa Kang Temon tak melihat ke bawah sebelum menjatuhkan blarak itu?" Pak Kades menginterogasi Kang Temon di hadapan lelaki pemilik mobil hitam.

"Maaf Pak Kades, saya sudah melihat ke bawah, sepertinya tadi lengang. Tak ada orang atau mobil hendak lewat di bawah saya."

"Tapi setidaknya Kang Temon kan mendengar suaranya?"

"Tidak Pak. Mobil itu, nyaris tak terdengar."

"Kang Temon perlu tahu, Bapak ini adalah anggota dewan, wakil rakyat di daerah kita."

Wakil rakyat? Aduh, baru kali ini Kang Temon bermasalah dengan seorang wakil rakyat.

"Tapi Pak Temon mestinya tidak sendirian, itu pohon kan di tepi jalan desa?"

Wakil rakyat itu berkata dengan nada agak tinggi. Namun Kang Temon tampak tidak keder, justru tampak tenang.

"Kang Temon dulu sudah saya sarankan untuk menebangnya, karena membahayakan pengguna jalan. Tapi Kang Temon bersikeras tidak mau. Sekarang tahu kan akibatnya?"

"Betul Pak Kades. Tapi ini kan tidak ada unsur kesengajaan. Lebih tepatnya ini adalah sebuah kecelakaan."

"Pokoknya saya tetap minta ganti Pak."

Anggota dewan ini membuat Kang Temon harus mengatur strategi dalam berkilah. Karena baru kali ini dia menghadapi tukang rapat, tukang debat. Bukan seperti biasanya ketika Kang Temon ikut rapat di balai desa, paling lawan debatnya sejajar, debat ala desa, bukan ala wakil rakyat.

Namun Kang Temon tetap berprinsip dalam menghadapi situasi semacam ini. Tidak boleh emosi, harus tenang. Hati boleh panas, namun kepala tetap dingin.

"Saya ingin Pak Temon mengganti kaca mobil itu. Saya tidak mau tahu bagaimana caranya. Saya tidak mau mendengar alasan Pak Temon untuk tidak menggantinya."

Wakil rakyat itu tampak emosi. Wajahnya semakin tidak bersahabat.

***

"Maaf Bapak. Mobil itu milik Bapak sendiri?"

Kang Temon bertanya datar, tanpa balas dengan nada tinggi.

"Bukan. Itu mobil dinas, milik pemerintah. Tapi saya yang bertanggungjawab atas mobil itu."

"Kalau memang mobil pemerintah, berarti bukan saya yang harus mengganti."

"Lalu siapa?"

"Ya Bapak sendiri."

"Kok bisa?"

"Loh, tadi Bapak bilang Bapak yang bertanggungjawab atas mobil itu kan?"

"Pak Temon ini bagaimana? Bapak masih waras kan?"

Kang Temon tersenyum. Ternyata wakil rakyat ini lebih emosional dibanding tokoh-tokoh masyarakat di desanya. Hal itu membuat Kang Temon lebih percaya diri dalam menyelesaikan masalah blaraknya. Bagi Kang Temon, orang yang emosi biasanya pikiran jernihnya tidak jalan, tertutup emosinya.

"Saya waras seratus persen Bapak. Tapi kalau saya disuruh mengganti, dari mana uangnya?"

"Terserah Bapak."

Pak Kades menggeser duduknya, mencoba bicara untuk meredam situasi.

"Maaf Kang Temon. Menurut Bapak ini, blarak itu masih hijau. Mengapa Kang Temon memangkasnya?"

"Istri saya minta dibuatkan sapu lidi Pak Kades."

"Loh, kan bisa ambil blarak di kebun lainnya. Atau beli sapu di pasar."

"Apakah Pak Kades juga tahu sebelumnya kalua akan apes?"

Pak Kades pun diam. Bila sudah begini, berarti Kang Temon sudah siap tempur dalam perdebatan. Pak Kades paham betul watak Kang Temon.

"Bagaimana, Pak?"

Tanya Kang Temon kepada sang wakil rakyat. Yang ditanya tetap pada pendiriannya.

"Pokoknya saya minta ganti!"

"Tidak bisa Pak. Bukankah mobil itu milik pemerintah?"

"Lalu kenapa?"

"Mobil itu dibeli pemerintah dengan uang dari mana?"

"Pajak."

"Siapa yang membayar pajak?"

"Ya, rakyat."

Sang anggota dewan mulai kalem. Bahkan agak gugup menjawab pertanyaan Kang Temon tadi.

"Nah, jelas bukan?"

"Jelas bagaimana Pak?"

"Kalau mobil itu dibeli dengan uang pajak yang dibayar rakyat, berarti mobil itu milik rakyat."

Tiba-tiba suasana menjadi hening.

***

"Jadi menurut saya, Bapak ini karena sebagai wakil rakyat, oleh rakyat dipinjami mobil untuk dinas. Jika ada kerusakan dan sebagainya, ya Bapak yang bertanggungjawab."

"Jadi Pak Temon tetap tidak mau menggantinya?"

"Tidak, Pak. Karena siapa tahu uang yang digunakan untuk membeli mobil itu juga dari keringat saya?"

"Bagaimana bisa?"

"Bukankah saya ini rakyat yang taat membayar pajak Pak Kades?"

Tanya Kang Temon kepada Pak Kades yang sedari tadi sebagai pendengar. Namun Pak Kades tak menjawab pertanyaan Kan Temon. Hanya menatap Kang Temon sambil manggut-manggut. Kang Temon bartanya minta kepastian.

"Bagaimana, Pak?"

"Baiklah. Pak Temon boleh pulang," jawab wakil rakyat itu datar.

Setelah mengucapkan terimakasih dan berpamitan, segera Kang Temon meninggalkan balai desa untuk membawa pulang blaraknya.

Dalam perjalanan pulang, Kang Temon terbayang omelan isterinya bila tak segera dibuatkan sapu lidi. Kali ini Kang Temon akan membuat sapu lidi yang mahal harganya. Karena dibuat dengan blarak yang mahal. Paling tidak seharga kaca mobil dinas anggota dewan, mobil wakil rakyat. (*)

Lembah Tidar, September 2019

Catatan:

kesuh = kesal

sapu regel = sapu lidi yang sudah pendek karena aus

blarak = daun kelapa

apes = naas, sial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun