HARI-HARI masih dalam kemuraman di keluarga Trimo sejak dia ditemukan isterinya. Hampir dua bulan tak diketahui rimbanya, juga kabarnya. Apakah sehat, apakah sakit, bahagia atau sengsara? Tak ada yang tahu. Namun isterinya yakin, Trimo akan ditemukan kembali.
Pencarian ke berbagai kota dilakukan Ranti, isteri Trimo, tanpa lelah. Kadang bermotor sendiri atau dengan kakak perempuannya, kadang dengan roda empat bersama anak dan cucunya. Ke berbagai kota dengan harapan menemukan suaminya.
Kini Trimo seperti linglung, sulit mengingat kejadian yang membawanya pergi meninggalkan keluarga, pekerjaan, dan aktivitas lainnya. Ranti pun berusaha membawa Trimo ke dokter jiwa, juga ke psikiater. Hasilnya cukup menggembirakan Ranti dan keluarganya. Lambat laun ingatan Trimo kembali membaik.
***
Kini masalah yang dihadapi Trimo bukan lagi ingatannya yang 'hilang' dua bulan itu. Namun sikap dan teman-teman kantornya. Teman sejawatnya masih menganggap Trimo itu 'gila', tidak waras. Sehingga jarang mereka mengajak bicara kepada Trimo.
Mungkin takut menyinggung, mungkin juga memang enggan. Bahkan menagih hutang kepada Trimo pun memakai surat. Tanpa tandatangan dan tanpa amplop. Ah, Trimo merasa dirinya benar-benar sudah menjadi 'asing' atau 'diasingkan'.
Namun Trimo tetaplah sabar, dia hanya yakin 'Tuhan tidak pernah tidur'. Semua diserahkan kepada Sang Pencipta. Mungkin teman-temannya belum menyadari bahwa tidak ada orang yang mau bila diberi musibah.
"Trimo, terus uangku akan kamu kembalikan kapan? Aku sangat butuh!"
Trimo hanya diam. Tumben Dogol tak menulis surat untuk menagihnya kali ini.
"Maaf Kang Dogol, saya belum ada. Masih usaha. Maafkan saya Kang. Sungguh saya ingin segera melunasi. Tapi keadaan saya seperti ini. Istri dan anak-anak pun mencari cara untuk membantu saya, melunasi hutang."