Keributan di rumah keluarga Ki Pardopo itu sampai pula ke telinga Adipati Pudakwangi.
Adipati Pudakwangi memanggil abdi kesayangannya. Ki Pardopo menghadap dengan muka berbeda. Kali ini ada pancaran sedih dan bingung pada roman mukanya.
"Hamba siap menerima perintah, Gusti Adipati."
"Ki Pardopo. Kali ini aku akan memberikan sesuatu kepadamu."
"Hamba Gusti. Gusti Adipati akan memberi hamba apa lagi? Yang hamba terima dari Paduka selama ini sudah sangat berlebihan."
"Tidak Ki Pardopo. Kamu harus menerimanya. Kuncoro anakku menginginkan Menur menjadi pendampingnya. Aku minta kamu tidak menolaknya. Aku merestui mereka berdua."
"Duh Gusti Adipati. Paduka begitu baik terhadap kami. Hamba hanya abdi biasa seperti yang lain. Namun kenapa Gusti Adipati selalu memberi kami berlebihan."
"Sudahlah, Ki Pardopo. Sabda pandhita ratu. Sebagai adipati, aku tidak akan menarik lagi ucapanku. Apalagi menarik apa yang telah kuberikan kepadamu juga keluargamu."
Pesta perkawinan Kuncoro dan Menur pun berlangsung meriah. Para tamu heran karena Kuncoro mencintai anak abdinya. Ki Pardopo dan istrinya juga heran dengan hadiah yang mereka terima.
Di saat kebingungan dengan teka-teki itu, masih bingung pula Nyi Pardopo tentang siapa yang membuat perut Menur mual-mual namun jelas bukan karena mriyang atau masuk angin itu. Juga bingung dengan jawaban siapa yang memindahkan senthir di kamar tidur Menur setiap malam. Tidak Ki Pardopo atau Nyi Pardopo, bahkan Kuncoro pun juga tidak tahu bila Menur menyimpan jawaban dari semua itu. (*)
Magelang, Agustus 2019