Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senthir

26 Agustus 2019   09:02 Diperbarui: 26 Agustus 2019   09:02 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com/pexels

Malam-malam berlalu dan selalu meninggalkan senthir di lantai kamar tidur Menur. Malam-malam yang melahirkan ketakutan untuk berteriak, ketakutan untuk meronta, juga ketakutan untuk bercerita kepada siapa. Kemurungan menggelayut di roman cantik putri Ki Pardopo, kemurungan yang terukir dari gelap bayangan ranjang oleh senthir yang berpindah di lantai.

Malam-malam itu juga membuat Kuncoro sangat sulit memejamkan mata. Wajah Menur yang selalu hadir saat Kuncoro merebahkan tubuh di ranjang. Wajah yang seakan dekat, namun tersekat tradisi Pudakwangi. Kegelisahan di hati Kuncoro mengkristal menjadi keberanian untuk merangkai kata yang terucap di hadapan Menur. Kata yang berderet menguntai kalimat cinta. Sementara di telinga Menur, kata-kata itu semakin mengiris jiwa. Menambah beban di batinnya. Kadang ada amarah yang ingin meledak, namun apa untungnya bila ledakkan itu akan menjadi bumerang baginya, bagi keluarganya.

Menur begitu takut menerima untaian cinta yang dicurahkan Kuncoro. Takut melanggar tradisi, dan ia pun masih takut senthir berpindah ke lantai saat kesunyian menemani malam-malam di Pudakwangi.

Ada bulan paruh menggantung di langit bertabur bintang. Ada dingin yang menerobos dinding rumah Ki Pardopo. Larut malam dalam simponi binatang malam, mengantarkan sekelebat sosok masuk rumah papan itu. Sejurus kemudian senthir di atas meja itu pun pindah ke lantai. Kembali ketakutan memaksa Menur meneteskan air mata. Deras, sederas keringat sosok yang dikenalnya meski dalam gelap. Ada nafas kuda perang yang tertahan. Usai berlarian menelusuri huma dan bukit, kudapun terjerembab dalam kelelahan. Namun bergegas meninggalkan kamar dengan senthir di lantai.

Perut Menur berasa mual. Bergegas ingin memuntahkannya ke kamar mandi. Nyi Pardopo tergopoh-gopoh menyusulnya.

"Kamu kenapa, Nduk? Sakit?"

Yang ditanya membisu. Matanya saja yang berair menahan rasa mual. Menahan ketakutan, dan kemarahan.

"Kenapa Nduk?"

"Tidak apa-apa Mbok. Menur hanya mriyang."

Ada rasa curiga pada Nyi Pardopo. Menur dihujani pertanyaan. Naluri perempuan Nyi Pardopo tidak percaya begitu saja dengan jawaban Menur. Segera Nyi Pardopo melaporkan hal itu kepada suaminya. Di hadapan ayahnya, Menur pun tetap membisu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun