Mohon tunggu...
Narwan Eska
Narwan Eska Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemahat Rupadhatu

Berkelana di belantara sastra, berliterasi tiada henti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemahat Rupadhatu

20 Agustus 2019   21:09 Diperbarui: 20 Agustus 2019   21:25 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: koransulindo.com

Gunadharma meninggalkan tempat itu dengan meninggalkan isyarat yang tak dapat kutangkap. Isyarat itu ditujukan kepada para pengawal. Aku sama sekali tak tahu kalau Gunadharma sangat marah mendengar penuturanku. Mungkin kata-kataku dianggap menghina sang penguasa. Aku dicambuk.

Entah berapa kali geletar cemeti mendarat di punggungku. Aku mencoba bertahan, meski pedih perih merajam sekujur tubuh. Penyiksaan itu diakhiri dengan...

"Agh!"

Sebilah keris menancap jantungku. Darah segar menyembur dari dadaku. Melaburi bahita di dinding batu. Kutinggalkan ragaku yang telah penuh garis-garis merah cemeti. Aku melihat jelas, tubuhku diseret bagai hewan buruan yang terpanah. Dicampakkan begitu saja, hingga lalat-lalat bersuka ria menghisap anyir darah.

Aku menjadi pemahat rupadhatu yang mati sia-sia di depan karyanya, yang melaburi pahatan dengan darah. Namun tak tercatat oleh sejarah. Aku menjadi korban kesekian, tumbal kamulan agung. Tumbal ambisi penguasa, tumbal kejayaan suatu wangsa.

Aku masih di sini, di relief ini. Entah untuk berapa abad lagi. Entah masih berapa wangsa lagi. Aku hanya mampu menanti dan menanti. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun