Gunadharma meninggalkan tempat itu dengan meninggalkan isyarat yang tak dapat kutangkap. Isyarat itu ditujukan kepada para pengawal. Aku sama sekali tak tahu kalau Gunadharma sangat marah mendengar penuturanku. Mungkin kata-kataku dianggap menghina sang penguasa. Aku dicambuk.
Entah berapa kali geletar cemeti mendarat di punggungku. Aku mencoba bertahan, meski pedih perih merajam sekujur tubuh. Penyiksaan itu diakhiri dengan...
"Agh!"
Sebilah keris menancap jantungku. Darah segar menyembur dari dadaku. Melaburi bahita di dinding batu. Kutinggalkan ragaku yang telah penuh garis-garis merah cemeti. Aku melihat jelas, tubuhku diseret bagai hewan buruan yang terpanah. Dicampakkan begitu saja, hingga lalat-lalat bersuka ria menghisap anyir darah.
Aku menjadi pemahat rupadhatu yang mati sia-sia di depan karyanya, yang melaburi pahatan dengan darah. Namun tak tercatat oleh sejarah. Aku menjadi korban kesekian, tumbal kamulan agung. Tumbal ambisi penguasa, tumbal kejayaan suatu wangsa.
Aku masih di sini, di relief ini. Entah untuk berapa abad lagi. Entah masih berapa wangsa lagi. Aku hanya mampu menanti dan menanti. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI