***
Kupahat relief bahita di tengah samudra. Pahatku menari-nari di dinding batu. Mengikisnya menjadi kisah. Adegan itu terus dipengaruhi luapan perasaanku. Perasaan yang timbul akibat keadaan di sekelilingku. Penindasan, kesewenang-wenangan, dan kekuasaan yang mencabik-cabik perikemanusiaan. Merobek-robek hati nuraniku.
Relief telah jadi. Sebuah pemandangan romantika pelayanan di tengah samudra. Manusia-manusia yang melawan maut. Bahita yang dihempas badai! Relief ini penuh dengan adegan mengerikan, seperti suasana di sekelilingku. Sebuah tragedi yang menimpa makhluk bernama manusia.
"Apa maksud pahatan ini, Gandapala?"
Tanya Gunadharma -- sang arsitek candi ini -- kepadaku.
"Hamba Gusti. Inilah lukisan kehidupan pelayar di tengah samudra dengan sebuah bahita, Gusti."
"Mengapa lukisannya seperti ini?"
"Ampun Gusti, hamba sangat dipengaruhi oleh perasaan hamba saat ini."
"Apa maksudmu?"
"Hamba serasa sedang berada dalam bahita itu, Gusti. Hamba mendengar deburan ombak, gelegar petir, dan hempasan badai yang dahsyat."
"Kamu jangan mengigau, Gandapala. Sekarang kamu berada di kamulan agung, Pahatanmu sungguh tak sesuai dengan Jataka Awadhana atau Gandawyuh."