"Bapak ingin membawa dan menyerahkan sendiri surat ini kepada Pak Gubernur. Bapak yakin, Pak Gubernur akan meluluskan permintaan bapak."
"Inggih Pak, tapi Bapak sehat dulu nggih?"
Sudah sebulan surat kepada gubernur dari bapak tertunda dikirim atau diserahkan. Tak kunjung juga kesehatan bapak membaik. Bahkan kondisinya makin hari makin menurun. Aku sebagai anak terdekat dengan rumah bapaklah yang merawatnya. Saudara-saudaraku tinggal jauh di luar kota.
"Bila kamu mendengar berita Pak Gubernur mau datang ke kota, kamu kasih tahu bapak ya? Bapak ingin menyerahkan surat ini..."
"Inggih Pak."
***
Siang itu sepulang merumput dan membersihkan kandang. Seperti biasa aku hendak memapah bapak ke kamar mandi. Aku masuk kamar tampak bapak masih pulas tidurnya. Tangannya mendekap surat itu lagi. Kucoba membangunkan perlahan-lahan.
Badan bapak telah dingin. Rupanya bapak telah menghadap Sang Pencipta. Tak kuasa menahan air mata. Aku segera memberitahu tetangga untuk menyusul istriku di ladang. Sejurus kemudian rumah bapak telah penuh orang.
Lunas sudah pengabdian bapak. Mendidik anak-anaknya. Selesai pula tugas bapak memimpin keluarga. Mengabdi kepada negara meski hanya sebagai anggota Hansip, sejak masih bernama OPR.
 "Semoga Pak Kades berkenan menerima surat dari bapak untuk Pak Gubernur ini. Terserah Pak Kades mau diapakan. Yang jelas bapak kami hanya ingin tiang listrik ini dipindah atau digeser agak jauh dari rumah. Meski masih di tanah kami. Kami tetap rela meski tidak ada sewa."
"Maafkan saya Mas... saya sangat menyesal dengan tindakan kami pihak desa yang tidak menindaklanjuti laporan bapak Panjenengan, Mas."