Miller (2019), dalam studi nya berjudul Exploring the crabs in the barrel syndrome in organizations, mencatat bahwa perilaku ini sering muncul di lingkungan kerja yang kompetitif. Di organisasi semacam itu, individu lebih fokus pada upaya menjatuhkan rekan kerja daripada berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Akibatnya, produktivitas kelompok menurun, dan atmosfer kerja menjadi tidak sehat.
Dampak crab mentality tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh pelaku dan komunitas secara keseluruhan. Bagi korban, sikap menjatuhkan ini dapat memengaruhi kepercayaan diri dan motivasi. Banyak individu yang akhirnya enggan membagikan ide atau usaha mereka karena takut dihakimi atau disabotase.
Sementara itu, bagi pelaku, pola pikir ini hanya memperkuat rasa tidak puas terhadap diri sendiri. Dalam skala komunitas, perilaku ini menciptakan budaya stagnasi, di mana tidak ada yang benar-benar maju karena setiap orang sibuk saling menarik ke bawah.Â
Lalu, apa yang memicu crab mentality? Pertama, rasa iri yang berlebihan terhadap keberhasilan orang lain. Perasaan ini sering kali muncul karena ketidakpuasan terhadap pencapaian pribadi.
Kedua, budaya kompetisi yang tidak sehat. Dalam lingkungan yang terlalu fokus pada persaingan, individu cenderung melihat orang lain sebagai lawan, bukan mitra.
Ketiga, tekanan sosial di era digital, di mana setiap tindakan kita terekspos dan terbuka untuk dinilai oleh banyak orang.
Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan pendekatan yang melibatkan kesadaran individu dan kolektif. Salah satu langkah awal adalah membangun rasa empati dan penghargaan terhadap keberhasilan orang lain.
Pendidikan tentang pentingnya kerja sama dan kolaborasi perlu ditekankan sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun tempat kerja. Selain itu, media sosial harus digunakan dengan bijak.
Tidak semua hal perlu dipublikasikan, terutama jika prosesnya masih berlangsung. Dengan menjaga privasi, kita dapat meminimalkan potensi kritik negatif yang tidak konstruktif.
Lebih jauh, kelompok atau organisasi dapat menciptakan budaya yang mendukung kolaborasi daripada kompetisi. Seperti yang dicatat oleh Miller (2019), lingkungan kerja yang sehat ditandai dengan penghargaan terhadap kontribusi setiap individu, tanpa harus merendahkan yang lain. Dalam hal ini, keberhasilan satu orang seharusnya menjadi inspirasi, bukan ancaman.