Crab mentality, ide tulisan ini muncul bersamaan dengan topik yang ditulis enam hari lalu tentang NPD (Narcissistic Personality Disorder) dan personal branding, setelah obrolan panjang bersama teman di tongkrongan kafe.
Pembahasan awal sederhana, kita kerap kali menemukan teman atau kerabat yang hampir tiap kali memposting setiap proses yang dia ikuti. Bukan berarti tidak boleh, tapi jika itu masih on process, alangkah lebih baiknya jangan dipublikasi terlebih dahulu. Kenapa?
Karena, jelas banyak orang pasti ada saja yang tidak suka dengan kita, kemudian mengumpat, bahkan mendoakan hal buruk agar keberhasilan tidak berpihak pada kita. Nah, inilah yang disebut dengan crab mentality
Istilah crab mentality sendiri berasal dari perilaku kepiting ketika berada di dalam ember. Jika ada satu kepiting yang mencoba memanjat keluar, kepiting lainnya akan menariknya kembali. Hasilnya, tidak ada yang berhasil keluar dari ember tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai bentuk nyata dari perilaku ini, terutama di era digital yang didominasi oleh media sosial. Mulai dari komentar negatif hingga upaya sabotase terselubung, semua mencerminkan bagaimana crab mentality dapat menghambat kemajuan individu dan kelompok.
Secara psikologis, crab mentality berakar pada rasa iri dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Dalam bukunya Crab Antics: The Social Anthropology of English-Speaking Negro Societies of the Caribbean, Wilson (1973) menjelaskan bahwa perilaku ini sering terjadi dalam masyarakat dengan tingkat kesenjangan yang tinggi.
Orang-orang yang merasa kurang berhasil cenderung mengembangkan pola pikir negatif terhadap mereka yang dianggap lebih sukses. Alih-alih melihat keberhasilan orang lain sebagai inspirasi, mereka memandangnya sebagai ancaman yang harus dihambat.
Fenomena ini menjadi semakin relevan dalam konteks modern, di mana media sosial membuka ruang yang luas untuk menampilkan pencapaian individu. Sayangnya, platform ini juga menjadi ladang subur bagi komentar negatif dan sikap menjatuhkan.
Miller (2019), dalam studi nya berjudul Exploring the crabs in the barrel syndrome in organizations, mencatat bahwa perilaku ini sering muncul di lingkungan kerja yang kompetitif. Di organisasi semacam itu, individu lebih fokus pada upaya menjatuhkan rekan kerja daripada berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Akibatnya, produktivitas kelompok menurun, dan atmosfer kerja menjadi tidak sehat.
Dampak crab mentality tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh pelaku dan komunitas secara keseluruhan. Bagi korban, sikap menjatuhkan ini dapat memengaruhi kepercayaan diri dan motivasi. Banyak individu yang akhirnya enggan membagikan ide atau usaha mereka karena takut dihakimi atau disabotase.
Sementara itu, bagi pelaku, pola pikir ini hanya memperkuat rasa tidak puas terhadap diri sendiri. Dalam skala komunitas, perilaku ini menciptakan budaya stagnasi, di mana tidak ada yang benar-benar maju karena setiap orang sibuk saling menarik ke bawah.Â
Lalu, apa yang memicu crab mentality? Pertama, rasa iri yang berlebihan terhadap keberhasilan orang lain. Perasaan ini sering kali muncul karena ketidakpuasan terhadap pencapaian pribadi.
Kedua, budaya kompetisi yang tidak sehat. Dalam lingkungan yang terlalu fokus pada persaingan, individu cenderung melihat orang lain sebagai lawan, bukan mitra.
Ketiga, tekanan sosial di era digital, di mana setiap tindakan kita terekspos dan terbuka untuk dinilai oleh banyak orang.
Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan pendekatan yang melibatkan kesadaran individu dan kolektif. Salah satu langkah awal adalah membangun rasa empati dan penghargaan terhadap keberhasilan orang lain.
Pendidikan tentang pentingnya kerja sama dan kolaborasi perlu ditekankan sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun tempat kerja. Selain itu, media sosial harus digunakan dengan bijak.
Tidak semua hal perlu dipublikasikan, terutama jika prosesnya masih berlangsung. Dengan menjaga privasi, kita dapat meminimalkan potensi kritik negatif yang tidak konstruktif.
Lebih jauh, kelompok atau organisasi dapat menciptakan budaya yang mendukung kolaborasi daripada kompetisi. Seperti yang dicatat oleh Miller (2019), lingkungan kerja yang sehat ditandai dengan penghargaan terhadap kontribusi setiap individu, tanpa harus merendahkan yang lain. Dalam hal ini, keberhasilan satu orang seharusnya menjadi inspirasi, bukan ancaman.
Crab mentality adalah tantangan yang harus dihadapi bersama. Fenomena ini menunjukkan bagaimana rasa iri dan pola pikir negatif dapat menghambat kesuksesan individu dan kelompok.
Tapi, dengan kesadaran, empati, dan kerja sama, kita dapat menciptakan budaya yang lebih positif dan mendukung. Sebagaimana kata pepatah, "Keberhasilan adalah hasil dari kerja sama, bukan kompetisi."
Daripada menarik orang lain ke bawah, mari kita bersama-sama mendorong mereka ke atas, karena kesuksesan orang lain tidak pernah mengurangi peluang kita untuk berhasil.
Referensi:
- Miller, C. D. (2019). Exploring the crabs in the barrel syndrome in organizations. Journal of Leadership & Organizational Studies, 26(3). https://doi.org/10.1177/1548051819849009
- Wilson, P. J. (1973). Crab Antics: The Social Anthropology of English-Speaking Negro Societies of the Caribbean. New Haven: Yale University Press.
Pena Narr, Belajar Mencoret...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI