Mohon tunggu...
Narul Hasyim Muzadi
Narul Hasyim Muzadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Language education

Belajar mencoret

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Titik Abstrak Moralitas yang Berpura-pura

5 Januari 2025   03:02 Diperbarui: 5 Januari 2025   03:09 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi moral | Image by T3lusur.com

"Saya tidak akan bilang moralitas adalah fatamorgana indah, tidak, tapi izinkan saya bilang: moralitas sejatinya hanyalah salah satu omong kosong yang bisa dijual dalam bisnis politik. Temukan rumusnya dengan tepat, temukan resepnya dengan pas, maka itu bisa jadi senjata yang efektif memenangi sebuah kompetisi politik."

Begitulah kata Thomas dalam  Negeri di Ujung Tanduk (2013) karya Tere Liye. Sebuah kalimat yang  cukup nyelekit. Mungkin kesannya sinis, tapi coba pikir, ada benarnya juga, kan? Moralitas sering kali bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal bagaimana itu dikemas.  

Moralitas sering dibicarakan dengan penuh semangat di ruang-ruang diskusi, mimbar publik, hingga meja makan keluarga. Tapi, kenyataannya, moralitas tidak sesederhana teori yang sering kita dengar.

Kita hidup di dunia yang serba kompleks. Orang bisa berbicara panjang soal moralitas (soal kejujuran, kesetaraan, atau kasih sayang). Tapi, apa yang terlihat belum tentu yang sebenarnya.

Kalau kata Fyodor Dostoevsky dalam Crime and Punishment (1866), "Man is a mystery. It needs to be unraveled, and if you spend your whole life solving it, you still won't get to the bottom of it."

Artinya: "Manusia adalah misteri. Itu perlu dipecahkan, dan jika kamu menghabiskan seluruh hidupmu untuk menyelesaikannya, kamu tetap tidak akan sampai pada dasarnya."

Kadang, tindakan yang tampak baik ternyata punya agenda tersembunyi, atau malah dilakukan karena tekanan, bukan karena niat yang murni.

Mari kita jujur, seberapa sering kita menilai orang lain dari tindakan moral yang terlihat di luar? Ketika seseorang menyumbang dalam jumlah besar, apakah kita menganggap mereka benar-benar baik hati? Atau ketika seseorang membagikan video amal di media sosial, apakah itu murni niat mulia?

Kata Aldous Huxley dalam Brave New World (1932), "Morality is the luxury of those who are not under the necessity of surviving." 

Artinya: "Moralitas adalah kemewahan yang hanya dimiliki mereka yang tidak berada di bawah tekanan untuk bertahan hidup."   

Kenyataannya, moralitas sering menjadi topeng yang kita pakai untuk memenuhi ekspektasi sosial. Di satu sisi, moralitas adalah alat untuk menjaga harmoni. Di sisi lain, ia juga bisa menjadi senjata untuk menghakimi.

Padahal, moralitas sejati bukan soal apa yang orang lain lihat, melainkan apa yang kita tahu benar dan kita lakukan, bahkan ketika tidak ada yang menyaksikan.  

Dalam dunia ideal, memilih yang benar seharusnya menjadi hal paling mudah. Tapi kita hidup di dunia nyata, di mana keputusan tidak hanya melibatkan nilai moral, tetapi juga risiko yang harus dihadapi.

Misalnya, seorang karyawan yang tahu atasannya melakukan praktik curang. Apakah ia harus bersuara dan kehilangan pekerjaan, atau diam demi mempertahankan nafkah keluarganya?  

Moralitas tidak selalu hitam putih. Kadang, berupa abu-abu yang memaksa kita untuk membuat keputusan sulit. Dan keputusan itu sering kali bukan soal memilih antara benar atau salah, tetapi soal apa yang paling masuk akal di kondisi tertentu. 

Ketika berbicara tentang moralitas, kita sering terpaku pada isu besar (keadilan sosial, perubahan dunia, atau keputusan-keputusan monumental). Tapi mari kita turunkan skala. Moralitas juga hidup dalam tindakan-tindakan kecil yang sering kali luput dari perhatian.  

Seorang pengendara yang berhenti untuk menolong anak kecil menyeberang jalan, seorang murid yang mengembalikan barang temuan di sekolah, atau bahkan sesederhana tidak memotong antrian di supermarket.

Tindakan kecil ini mungkin tidak menghasilkan penghargaan besar, tetapi dampaknya jauh lebih nyata daripada sekadar pidato panjang soal nilai moral.  

Kita hidup di era di mana moralitas sering kali dijadikan komoditas. Media sosial adalah pasar terbuka, di mana citra lebih penting daripada substansi. Orang berlomba-lomba memamerkan moralitas mereka, dari tren tagar hingga video amal yang sengaja direkam.  

Sayangnya, semakin sering moralitas dijual sebagai "konten," semakin ia kehilangan esensinya. Apa artinya moralitas jika hanya menjadi sarana untuk validasi sosial? Bukankah tindakan moral sejati adalah yang dilakukan tanpa harapan tepuk tangan?  

Moralitas bukan tentang apa yang orang lain lihat dari kita. Ia adalah dialog pribadi antara kita dengan diri sendiri. Apakah kita bangga dengan apa yang telah kita lakukan? Apakah kita bisa tidur nyenyak dengan keputusan yang kita ambil?  

Moralitas sesuatu yang kita jalani setiap hari, berjuangan untuk tetap jujur pada diri sendiri, meski dunia memaksa kita untuk berpura-pura.

Seperti yang Dostoevsky katakan, hati manusia itu dalam dan penuh rahasia. Kita mungkin tidak bisa memahami semua pilihan orang lain, tetapi kita bisa memastikan bahwa pilihan kita sendiri setia pada prinsip kita.  

Jadi, moralitas itu omong kosong atau bukan? Tergantung bagaimana kita menjalankannya. Jika ia hanya menjadi topeng atau alat pencitraan, maka mungkin benar ia hanya fatamorgana.

Tapi jika kita memilih untuk menjadikannya bagian dari siapa kita tanpa pretensi, tanpa harapan pengakuan, maka ia akan selalu menjadi sesuatu yang berharga.  

Referensi:

  • Dostoevsky, F. (1866). Crime and Punishment. Moscow: The Russian Messenger.  
  • Huxley, A. (1932). Brave New World. London: Chatto & Windus.  
  • Tere Liye. (2013). Negeri di Ujung Tanduk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.  

Pena Narr, Belajar Mencoret...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun